Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komnas Perempuan Soroti Laporan Kekerasan Terhadap Perempuan Jelang Pemilu

Komnas Perempuan mengungkap masih maraknya kekerasan terhadap perempuan peserta Pemilihan Umum (Pemilu).

Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Komnas Perempuan Soroti Laporan Kekerasan Terhadap Perempuan Jelang Pemilu
Tribunnews.com/ Ashri Fadilla
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy dalam acara Peluncuran Pedoman Pemantauan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Untuk Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender dan Memperkuat Kepemimpinan Perempuan, Selasa (21/11/2023). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkap masih maraknya kekerasan terhadap perempuan peserta Pemilihan Umum (Pemilu).

Tak hanya Pemilu, kekerasan terhadap perempuan juga kerap terjadi pada ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg).

"Beberapa kasus terkait kekerasan berbasis gender dalam Pemilu di antaranya penolakan kepemimpinan perempuan, pemecatan caleg perempuan terpilih, dan intimidasi caleg perempuan," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy dalam acara Peluncuran Pedoman Pemantauan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Untuk Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender dan Memperkuat Kepemimpinan Perempuan, Selasa (21/11/2023).

Sejak 2009, sejumlah tindak kekerasan terhadap perempuan terkait Pemilu, Pilkada, dan Pileg menjadi sorotan.

Pertama, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Tindakan khusus Sementara pada Tahun 2009.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, putusan tersebut dapat mengurangi hak konstitusional perempuan untuk mendapat perlakuan khusus dalam Pemilu.

Baca juga: 1.117 Bakal Calon Kepala Daerah Dikumpulkan di DPP, Airlangga Minta Menangkan Golkar di Pemilu 2024

Berita Rekomendasi

"Konteks Keputusan MK untuk tindakan khusus sementara yang di tahun 2009, kalau kami menyebutnya itu mereduksi konteks hak konstitusional perempuan untuk mendapat perlakukan khusus di dalam pemilihan umum," katanya.

Kemudian, ada pula pelaporan terkait pencurian suara caleg perempuan di Papua pada 2014.

Saat itu, para caleg perempuan keberatan jika jumlah suara mereka dialihkan untuk caleg laki-laki.

Baca juga: Awasi Potensi Kecurangan, Sejumlah Aktivis Hingga Tokoh Muda Luncurkan Gerakan Jaga Pemilu

"Dari kasus pencurian dan pengalihan suara caleg perempuan di Papua ini, para caleg di Papua berkeberatan jika suara mereka, ketika mereka tidak memenuhi jumlah suara untuk terpilih, untuk sisa suara mereka itu dialihkan kepada caleg laki-laki atau non-Papua," ujar Siti.

Lalu ada pelaporan mengenai diskriminasi perempuan Papua untuk menjadi penyelenggara Pemilu pada 2014 lalu.

Hal ini kemudian bertambah ramai seiring munculnya pernyataan "Perempuan Papua Bisa Apa."

Dari kasus itu, Siti menilai terdapat kekerasan tidak hanya dari sisi gender, tapi juga suku.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas