MK Tolak Uji Formil Batas Usia Capres-cawapres dari Denny Indrayana, Pengacara: Bakal jadi Bom Waktu
Sementara itu, M Raziv Barokah selaku kuasa hukum Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar mengatakan, putusan penolakan uji formil dari MK ini akan
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan, menolak permohonan uji formil terhadap pembentukan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Capres-cawapres).
Uji formil itu sebelumnya diajukan oleh dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.
Permohonan uji formil itu diajukan ke MK untuk memastikan ada koreksi mendasar terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 (putusan 90) yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto. Sebab, putusan itu diambil disertai adanya pelanggaran etik berat dalam prosesnya oleh hakim konstitusi.
Pembiaran atas intervensi yang terjadi selama pemeriksaan Putusan 90 tidak bisa dibiarkan dan berdampak kepada Pilpres 2024.
Dalam petitumnya, Denny dan Zainal ingin MK menyatakan pembentukan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu, Denny dan Zainal meminta penyelenggara pemilu yakni KPU untuk mencoret peserta Pemilu yang mengajukan pendaftaran berdasarkan perubahan tersebut.
Namun, MK menolak petitum itu dengan alasan sudah pernah menyidangkan ulang uji formil serupa dengan hasil ditolak.
Denny Indrayana mengaku kecewa dan menyayangkan putusan penolakan uji formil Putusan 90 dari MK ini.
Ia mengatakan, seharusnya masyarakat masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan demokrasi dan Pemilu 2024 yang lebih konstitusional. Semestinya MK juga memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan menyelamatkan demokrasi jika mengabulkan permohonan uji formil yang diajukan.
"Sangat disayangkan kemudian MK tidak mau bahkan tidak berani mengoreksi skandal Mahkamah Keluarga-gate yang mencoreng demokrasi dan konstitusi,” ujar Denny Indrayana dalam keterangan pers diterima Tribunnews.com, Selasa (16/1/2024).
Baca juga: BREAKING NEWS MK Tolak Uji Formil Batas Usia Capres/Cawapres yang Diajukan Denny Indrayana
Sementara itu, M Raziv Barokah selaku kuasa hukum Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar mengatakan, putusan penolakan uji formil dari MK ini akan menjadi sumber persoalan dalam beberapa hal.
"Pertama, MK jangankan menegakkan hukum, menegakkan undang-undang saja tidak. Padahal, ada kesempatan untuk melakukan terobosan untuk penegakan hukum dan undang-undang, tetapi keduanya tidak dilakukan. MK membiarkan ruang kosong yang belum diisi dengan alasan yang terlalu sederhana.
Kedua, MK melanjutkan kondisi ketidakjelasan konstitusional salah satu kandidat, dan itu bom waktu yang kembali akan menjadi ujian di permohonan lanjutannya termasuk sengketa pilpres," ucap Raziv.
“Tidak ada yang bisa kami sampaikan selain kekecewaan atas putusan ini, atas kondisi yang terjadi di Pilpres 2024 ini. Keadilan konstitusi dipaksa mati, kalau begitu, kematian keadilan-keadilan lain pun tinggal menunggu waktu,” sambungnya.
Baca juga: Ketua MK Tegaskan Para Hakim Tetap Solid Meski Ada Gugatan Anwar Usman di PTUN
Menurut Raziv, secara hukum putusan dari MK ini harus diterima karena tidak ada pilihan lain. Namun, secara moral konstitusi, putusan ini sulit untuk diterima.
Sebab, proses putusan 90 yang melanggengkan jalan Gibran menjadi peserta Pemilu 2024 terjadi dengan pelanggaran konstitusi yang vulgar yang tidak dapat diterima dari sudut pandang moralitas-etik konstitusi.
"Sangat disayangkan, MK tetap membiarkan keberlakuan norma hukum yang menjadikan Gibran Rakabuming selaku calon Wakil Presiden lolos melalui putusan yang melanggar etika. Perubahan ketentuan Pasal 129 huruf q UU Pemilu walaupun jelas cacat secara etika mau tidak mau tetap dibiarkan berlaku di kalangan masyarakat karena MK tetap tidak mau membatalkannya melalui Putusan 145/PUU-XXI/2023," tukasnya.