Sebanyak 11 Kepala Daerah Ajukan Gugatan ke MK, Desain Pilkada Serentak 2024 Dinilai Bermasalah
Febri mengeklaim, secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 11 kepala daerah mengajukan permohonan judicial review atau uji materiil Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Belasan kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon di MK tersebut, di antaranya Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi.
Mereka memberikan kuasa kepada Donal Fariz, Febri Diansyah, dan Rasamala Aritonang dalam permohonannya.
Adapun pasal tersebut berbunyi, "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024".
Sebanyak 11 Kepala Daerah tersebut menyoalkan desain keserentakan Pilkada 2024 yang dinilai bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.
"Sebab (desain keserentakan Pilkada 2024) telah merugikan sejumlah 270 Kepala Daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan Para Kepala Daerah secara signifikan," kata anggota tim kuasa hukum para Pemohon, Febri Diansyah, dalam keterangan persnya, pada Jumat (26/1/2024).
Baca juga: Komisi II DPR Respons Putusan MK yang Mengabulkan Gugatan Masa Jabatan Kepala Daerah
Febri mengeklaim, secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia, yakni sekira 49,5 persen dari 546 kepala daerah yang ada.
Ia juga mengatakan, sekalipun pasal yang diuji oleh para kepala daerah tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke MK, Para Pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.
Menurutnya, pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan pilkada serentak nasional tahun 2024 sehingga berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas.
Baca juga: Eks Hakim MK: Selalu Ada Godaan Bagi Negara yang Sedang Transisi Dari Diktator ke Demokrasi
Dalam permohonannya, Febri mengatakan, pihaknya menyampaikan tujuh argumentasi hukum pokok, yaitu:
1) Tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal Pilkada Serentak Nasional tahun 2024.
2) Penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis.
3) Tujuan keserentakan Pemilu untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana.
4) Penentuan jadwal Pilkada Serentak Nasional 2024 merugikan sebanyak 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020.
5) Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada membuat potensi korupsi lebih tinggi.
6) Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada membuat potensi gangguan keamanan dan ketertiban menjadi besar.
7) Adanya potensi penumpukan perkara hasil sengketa pemilihan umum di MK.
Para Pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada Nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang, yakni gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025.
"Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut," ungkapnya.