Sidang Perdana Gugatan Pencawapresan Gibran: TDPI Perkarakan KPU, Anwar Usman, Jokowi, dan Pratikno
TDPI menilai pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres di Pilpres 2024 telah melawan hukum.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang perdata yang dilakukan masyarakat melalui Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TDPI) 2.0 digelar perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (29/1/2024).
Dalam gugatannya, TDPI memperkarakan empat pihak yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hakim Konstitusi Anwar Usman, Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Mensesneg Pratikno.
Gugatan ini dibacakan oleh penasihat hukum dari TDPI Patra M Zein di hadapan majelis hakim.
TDPI menilai pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres di Pilpres 2024 telah melawan hukum.
"Bahwa diterimanya berkas pendaftaran Saudara Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden RI oleh Tergugat I (KPU) pada 25 Oktober 2023 jelas merupakan perbuatan melawan hukum karena pada saat itu Peraturan KPU yang berlaku adalah Peraturan KPU RI Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang diterbitkan pada 9 Oktober 2023," kata dia dalam persidangan.
Baca juga: Gibran Dicap Bocah Cilik hingga Ingusan, Prabowo Pamer Elektabilitas Naik Terus: Sorry Ye
Selepas persidangan, Patra memerinci isi gugatannya terhadap empat pihak itu.
Dia menjelaskan Peraturan KPU Nomor 23 baru diterbitkan pada 3 November 2023, sementara pencalonan Gibran dilakukan pada 25 Oktober 2023.
Di sisi lain, di sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), TDPI telah mendengarkan semestinya Gibran namanya dicoret pada 28 Oktober 2023.
"Itulah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU," kata dia.
Patra juga mengungkapkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Anwar Usman.
Selaku pribadi, Anwar Usman semestinya mengetahui dan menjalankan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman sehingga dia tidak memeriksa dan memutus perkara Nomor 90 di Mahkamah Konstitusi (MK), karena ada konflik kepentingan.
Dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sudah memberikan putusan bahwa Anwar Usman melanggar kode etik.
"Nah, pelanggaran kode etik itu dalam hukum perdata dapat juga dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum," lanjut Patra.
Untuk gugatan terhadap Jokowi, lanjut dia, sebagai seorang ayah semestinya dia menasihati anaknya supaya yang bersangkutan tidak mencalonkan diri.
Dalam gugatan ini, Patra menyampaikan pihaknya mengajukan bukti berupa rekaman video di mana Jokowi menyatakan ketika ditanya oleh media.
Jokowi menyatakan Gibran tidak akan mencalonkan diri, sebab baru dua tahun jadi wali kota Solo dan umurnya belum cukup.
"Nah, apa yang dia sampaikan bahwa bisa berubah, itulah yang dimaksudkan dalam unsur perbuatan melawan hukum, melanggar kepatutan dan kepantasan," kata Patra.
Sementara Pratikno, kata Patra, sebagai orang dekat Jokowi semestinya dia juga melakukan suatu upaya memberikan nasihat, bukan malah seperti yang terekspose di sebuah majalah, turut dan patut diduga terlibat dalam proses pencalonan Gibran.
"Apa tuntutan dari para penggugat? Tuntutannya sudah jelas, kita minta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan para tergugat dan para turut tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum," kata dia.
Patra juga meminta para penggugat melakukan permintaan maaf secara tertulis di dua media selama tujuh hari berturut-turut.
KPU, Jokowi, Anwar Usman, dan Pratikno harus meminta maaf kepada para prinsipal, penggugat, dan masyarakat, atas perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan.
Dalam tuntutan perdata, para penggugat juga mengajukan tuntutan materiil. Tuntutan materiil berupa Rp1 juta rupiah, sementara tuntutan immaterial sebesar Rp1 triliun.
"Untuk apa uangnya? Prinsipal menyatakan untuk membangun sekolah demokrasi. Supaya masyarakat bisa mendapat pencerahan, pendidikan politik dan tidak dibodoh-bodohi. Jadi, itu garis besarnya. Gugatan ini semoga akan berlangsung, dapat diperiksa dan diputus pada saatnya nanti," kata Patra.