9 Guru Besar dan Dosen Unpad Kritik Jokowi di Seruan Padjadjaran: Krisis Kepemimpinan Tanpa Etika
Para guru besar Universitas Padjadjaran menyampaikan kritik terbuka atas kepemimpinan Presiden Jokowi yang kini menyimpang dari norma konstitusi.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para civitas akademika Universitas Padjadjaran Bandung menyampaikan kritik terbuka kepada kepemimpinan Presiden Jokowi yang kini dianggap menyimpang dari norma konstitusi terkait dengan cawe-cawenya pada proses Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Kritik terbuka terhadap kepemimpinan Jokowi itu disampaikan melalui Seruan Padjadjaran yang dibacakan Sabtu, 3 Februari 2024 dan dihadiri civitas akademika Universitas Padjadjaran (Unpad), termasuk rektor, senat akademik, ketua dewan profesor dan para guru besar serta dosen Unpad.
Total ada 9 guru besar dan dosen Unpad yang hadir di pembacaan Seruan Padjadjaran di kampus Unpad.
Mereka adalah:
· Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.
· Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL
· Prof. Dr. Erri Noviar Megantara, M.S.
· Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LL.M., Ph.D.
· Prof. Dr. Sinta Dewi, S.H., LL.M.
· Prof. Dr. Nia Kurniati
· Dr. Carroline Paskarina, S.IP., M.Si.
· Dr. Mei Susanto, S.H., M.H.
· Giri Ahmad Taufik, S.H., LL.M., Ph.D.
Pembacaan Seruan Padjadjaran juga dihadiri perwakilan ikatan keluarga alumni (IKA) sejumlah fakultas di Unpad, diantaranya IKA FH Universitas Padjadjaran; serta BEM Kema Universitas Padjadjaran; BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran; dan BEM Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.
Turut hadir pula BEM Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran; BEM Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran; BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan BEM Fakultas Keperawatan.
Berikut isi lengkap Seruan Padjadjaran:
SERUAN PADJADJARAN "SELAMATKAN NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS, BERETIKA DAN BERMARTABAT"
"NGADEK SACLEKNA, NIGAS SAPLASNA. NAON ANU DIUCAPKEUN, SALUYU JEUNG KANYATAAN. TEU DIREKAYASA. KONSISTEN"
(Setiap Ucapan Harus Jujur dan Apa Adanya. Apa Yang Disampaikan Harus Selaras Dengan Tindakan dan Kenyataan, Tidak Direkayasa, Tidak Dilebihkan. Harus Ada Konsistensi Ucapan, Sikap dan Tindakan).
Peristiwa-peristiwa sosial, politik, ekonomi dan hukum belakangan ini adalah sebuah rangkaian dari menurunya kualitas demokrasi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Baca juga: Jokowi Panen Kritik dari UGM, sehabis Disebut Alumni Paling Memalukan, Kini Dapat Petisi Bulaksumur
Indeks Persepsi Korupsi yang semakin memburuk, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui penempatan pimpinan-pimpinannya yang tidak amanah, penyusunan Omnibus Law pengaman investasi yang prosesnya jauh dari partisipasi publik, nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan dalam syarat Capres-Cawapres dalam pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, Cawe-Cawe Presiden dalam bentuk dukungan sikap bahkan politisasi bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan meraih dukungan politik adalah puncak gunung es dari diabaikannya kualitas institusi dalam proses pembangunan kontemporer di Indonesia.
Kualitas institusi adalah pilar dari peningkatan kesejahteraan. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pembangunan infrastruktur fisik, tapi merusak tatanan justru akan membuat mandeknya pertumbuhan ekonomi, peningkatan kemiskinan dan ketimpangan.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara UII Nilai Tak Elok Jika Presiden Ikut Kampanye Meski Diperbolehkan UU
Praktik kuasa untuk melegitimasi kepentingan segelintir elit akan berdampak pada kegagalan pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa yang menjadi tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, alinea kedua yaitu: