Kisah Mereka yang Ingin Mencoblos, Tapi Berakhir Golput
Tak semua orang bisa menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2024 meskipun mereka ingin berpartisipasi.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilihan umum (Pemilu) 2024 telah diselenggarakan di Indonesia.
Namun tidak semua orang yang bisa memilih calon pemimpin walau pun ingin.
Sebagian orang terpaksa tidak memilih atau golput.
Sebut saja Hasyim Ashari. Laki-laki yang berprofesi sebagai jurnalis ini tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu tahun ini.
Baca juga: Nyaris Golput karena Tugas Saat Pemungutan Suara, Nakes Bersyukur RSCM Buka TPS Khusus
Padahal dirinya mengaku sudah terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT).
"Saya sudah terdaftar sebagai DPT di TPS Kelurahan Kebon Bawang, Tanjung Priok," ungkapnya pada Tribunnews, Rabu (14/2/2024).
Hasyim bercerita jika dirinya tidak bisa memilih karena terkendala dengan waktu.
Sebagai seorang jurnalis, dirinya mendapat penugasan di pagi hari.
"Saya tidak bisa memilih alias golput karena diharuskan untuk bekerja dan berangkat pada pukul 06.00 WIB," jelasnya.
Hasyim mencoba berkomunikasi dengan Ketua rukun tetangga (RT) dan ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Salah satunya dengan memilih lebih dulu, namun tidak diizinkan karena tempat pemungutan suara (TPS) belum dibuka.
Selain itu anggota KPPS belum mengucap sumpah.
"Jadi, dengan terpaksa saya harus mengikhlaskan hak suara saya demi menjalani pekerjaan," tambahnya.
Hasyim sendiri mengaku sedih karena hak suaranya tidak bisa digunakan
"Walau satu suara, tapi sangat berarti sekali untuk masa depan Indonesia. Sedih rasanya tidak bisa ikut pesta demokrasi 5 tahun ini," imbuhnya.
Ia berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) punya regulasi terkait orang-orang yang alami kendala seperti diri ya.
"Teruntuk KPU dan Bawaslu, tolong agar dimudahkan lagi regulasinya, untuk para pekerja yang memang tidak bisa libur. Beri keringanan dan sosialisasi lagi bagi anggota KPPS ataupun saksi Bawaslu," tutupnya.
Berbeda dengan Hasyim, Niswah punya kisahnya sendiri, kenapa berakhir menjadi golput.
Ia mengaku telah terdata sebagai pemilih.
Perempuan berusia 27 tahun ini sudah jauh-jauh hari memantapkan hati hendak menggunakan hak suaranya.
Di sisi lain Niswah juga menjadi saksi di TPS yang berbeda.
Disebutkan jika lokasi TPS tempat ia bertugas menjadi saksi, hujan lebat.
"Sedari pagi Jakarta Utara hujan deras, beberapa TPS kebanjiran. Kebetulan TPS saya ambruk, jadi kami membetulkan dulu. Sampai jam 9-an baru loading surat suara. Sumpah , cek surat suara. Jam 10 baru mulai. Sedangkan DPT sudah menumpuk," jelasnya.
Sedangkan sebagai saksi, ia harus memastikan semua yang hadir ada di dalam daftar.
Niswah pun terlambat ketika hendak memilih ke TPS yang telah ditentukan.
"TPS saya jauh banget dari TPS tugas (menjadi saksi) jam 12 siang baru ke sana, terus ditolak. Saya gak sendirian. Beberapa anggota TPS yang juga petugas KPPS tidak bisa nyoblos karena ditolak," tambahnya.
Lebih lanjut Niswah pun berharap kedepan pemilihan umum bisa dipermudah dan menggunakan sistem digitalisasi.
"Bisa digitalisasi, aksesnya pakai barcode jadi gak perlu antri di KPU ketika pindah DPT. Dan ga perlu bawa surat-suratan ke TPS," pungkasnya.