Majelis Hakim Tolak Eksepsi Dua Anggota PPLN Kuala Lumpur
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi atau keberatan atas dakwaan yang diajukan dua anggota PPLN Kuala Lumpur, Malaysia.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartwan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi atau keberatan atas dakwaan yang diajukan dua anggota PPLN Kuala Lumpur, Malaysia.
Keduanya adalah terdakwa IV Aprijon dan terdakwa VII Masduki Khamdan Muchamad.
Keberatan mereka dibacakan masing-masing kuasa hukum, pada sidang Kamis (14/3/2024) pagi.
"Mengadili, menyatakan eksepsi penasihat hukum terdakwa empat dan terdakwa tujuh ditolak," kata Hakim Ketua Buyung Dwikora, dalam sidang pembacaan putusan sela, di PN Jakarta Pusat, pada Kamis sore.
Majelis hakim menolak dalil dua pihak terdakwa itu, yang sama-sama menilai surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kadaluwarsa.
"Majelis menilai keberatan tersebut bukanlah menjadi kewenangan majelis hakim yang memeriksa pokok perkara," ucap Buyung.
Baca juga: Terdakwa Aprijon Keberatan Didakwa Lakukan Pemalsuan Daftar Pemilih PPLN Kuala Lumpur
Dengan demikian, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat tetap menilai surat dakwaan JPU sah.
"Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara," tegas Hakim Ketua.
Sebagai informasi, jajaran Majelis Hakim yang menangani perkara dugaan tindak pidana pemilu di PPLN Kuala Lumpur, yakni Hakim Ketua Buyung Dwikora serta dua Hakim Anggota, yaitu I Arlen Veronica dan Budi Prayitno.
Baca juga: Eks PPLN Kuala Lumpur Mengaku Tak Tahu Kalau Jadi Tersangka Mark Up DPT, Klaim Diganti Sejak 2023
Sebelumnya, Kuasa hukum anggota PPLN Kuala Lumpur nonaktif, Masduki Khamdan Muchamad, yakni Akbar Hidayatullah menilai surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung telah kedaluwarsa.
Hal itu disampaikan Akbar, dalam sidang pembacaan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024).
Akbar mengatakan, surat dakwaan atas kliennya itu telah kedaluwarsa. Sebab, temuan pelanggaran oleh Panwaslu Luar Negeri Kuala Lumpur melampaui batas waktu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu.
Akbar menjelaskan Pasal 454 Ayat (5) Undang-Undang Pemilu dan Pasal 5 Ayat (1) huruf b Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2022 pada pokoknya mengatur bahwa hasil pengawasan ditetapkan sebagai temuan pelanggaran pemilu paling lama tujuh hari sejak dugaan pelanggaran ditemukan.
Namun, menurutnya, Jaksa mendakwa kliennya dengan dasar rapat pleno penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) tanggal 5 April 2023, rapat pleno penetapan DPS Hasil Perbaikan (DPSHP) tanggal 12 Mei 2023, serta Rapat Pleno penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tanggal 21 Juni 2023.
Sedangkan, perkara diterima setelah temuan Panwaslu Luar Negeri Kuala Lumpur yang teregistrasi, pada tanggal 18 Januari 2024.
“Bahwa sampai pada saat eksepsi ini kami sampaikan, kami tidak mendapatkan berkas dari penuntut umum terkait temuan dan rekomendasi Panwaslu Luar Negeri sehubungan dengan pelanggaran penetapan DPS, DPSHP dan DPT,” tutur Akbar.
Sementara itu, Aprijon, satu di antara beberapa terdakwa kasus dugaan tindak pidana pemilu di PPLN Kuala Lumpur, Malaysia mengajukan keberatan atas dakwaan Jaksa.
Ia bersama tujuh terdakwa lainnya diduga telah memalsukan data dan daftar pemilih untuk Pemilu 2024 di wilayah Kuala Lumpur.
Kuasa Hukum terdakwa Aprijon, Emil Salim, mengatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cacat formil dan materil.
Ia menyebut, JPU tidak menuliskan secara lengkap identitas terdakwa tentang tempat tinggal atau alamat terdakwa, melainkan hanya menulis nama jalan namun tidak menyebutkan dengan jelas nama Kabupaten/Kota tempat tinggal Terdakwa.
Padahal, jelasnya, syarat formil surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat 2 KUHAP yakni, “Penuntut Umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan di tanda tangani serta berisi, huruf (a) nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka".
Kemudian, Emil mempermasalahkan, surat dakwaan No. REG. PERK : PDM – 20/M.1.10/03/2024 diberi tanggal 10 Maret 2024, sedangkan perkara dilimpahkan tanggal 8 Maret 2024 pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana Reg. perkara No. 185/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Pst.
Terkait hal itu, ia menilai, secara hukum seharusnya jika perkara dilimpahkan tanggal 8 Maret 2024 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seharusnya surat dakwaan diberi tanggal sebelum perkara di limpahkan.
Sebab, menurutnya, hal tersebut sebagaimana aturan Pasal 141 ayat (1), yakni ”Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.
Adapun untuk dalil cacat materil, kuasa hukum Aprjion mengatakan, uraian surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap.
Karena, ia menjelaskan, dalam surat dakwaan tidak menggambarkan secara utuh dan bulat tentang perbuatan materil para terdakwa secara pribadi berupa perbuatan yang bersifat melawan hukum.
"Justru segala tindakan para terdakwa dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan PPLN dalam rapat pleno terbuka tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS), Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT)," kata Emil, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Kamis (14/3/2024).
Tak hanya itu, Emil juga mengatakan, uraian surat dakwaan lebih banyak membahas tentang pelanggaran pemilu, bukan tindak pidana pemilu.
Lebih lanjut, ia menilai, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang menangani perkara pidana yang terjadi di luar negeri.