Kecurigaan Publik soal Sirekap Belum Terjawab, Polri Diminta Telusuri Gunakan UU ITE
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengatakan kecurigaan publik hingga saat ini belum terjawab soal polemik Sirekap
Penulis: Reza Deni
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar hukum pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita mengkritik kegaduhan yang ditimbulkan dari aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI.
Menurutnya, seharusnya Polri sebagai bisa menelusuri munculnya kegaduhan yang ditimbulkan dari Sirekap.
Baca juga: Roy Suryo Sebut Punya Bukti Server Sirekap KPU Ada di Singapura
"Itu bukan pelanggaran ketentuan di UU Pemilu, salah satunya adalah UU ITE karena dia transaksi elektronik ancaman hukumannya lumayan jauh lebih berat dari UU Pemilu. Kalau hal seperti ini lepas dari polisi, ini harus digunakan jalur hukum," kata Romli dalam diskusi 'Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024 Sebuah Konspirasi Politik' di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2024).
Romli berpendapat, Polri tidak bisa tinggal diam dari gaduhnya soal penggelembungan suara yang diduga ditimbulkan dari Sirekap. Apalagi, unsul sipil terus menyerukan dan menyuarakan adanya audit forensik terhadap Sirekap milik KPU RI.
"Kenapa Pemilu ini nggak ramai? Kenapa sekarang ramai, berarti dulu nggak ada masalah. Belum ada Sirekap, berarti kan itu semua sudah dipersiapkan," ucap Romli.
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, mengatakan kecurigaan publik hingga saat ini belum terjawab soal polemik Sirekap.
Baca juga: Hasto Klaim Hasil Audit Forensik Sirekap oleh Pakar IT PDIP: Perolehan Suara Ganjar-Mahfud 33 Persen
"Nampaknya ini tetap dikunci oleh KPU seperti halnya Sirekap mengunci angka perolehan suara Paslon 01, 02 dan 03 tetap stagnan dari awal hingga sekarang," kata Petrus
Dia menilai KPU menutup diri dari kritik publik dan tidak mengklarifikasi berbagai kecurigaan.
"Sehingga kecurigaan publik itu, per hari ini sudah mengarah kepada suatu keyakinan bahwa Sirekap bisa jadi merupakan "Alat Pembunuh Demokrasi"," kata Petrus lagi.
Dia mengeklaim sebagian besar publik mulai tidak percaya terhadap Sirekap produk ITB ini. "Bahkan akhir-akhir ini KPU sendiri mulai kehilangan kepercayaan terhadap Sirekap ini, dengan seringnya Sirekap ini mati atau dimatikan atau tidak digunakan," kata dia.
Ketidakpercayaan publik terhadap Sirekap ini terjadi, dikatakan Petrus, terlebih-lebih oleh karena sikap KPU dan pimpinan ITB yang tidak transparan sejak proses Pengadaan Sirekap hingga bagaimana Proses bekerjanya Sirekap, server Sirekap bisa berada di Singapura, China dan Prancis dan Kerjasama antara KPU dengan Alibaba Cloud, Raksasa Teknologi China yang adalah pihak asing.
"Publik lambat laun memandang Sirekap bukan lagi sebagai alat bantu Penghitungan Suara, bukan lagi menjadi solusi melainkan Sirekap menjadi problem yang berpotensi membunuh Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat melalui Pemilu 2024," katanya
"Padahal Pemilu itu sendiri merupakan sarana Kedaulatan Rakyat yang dijamin UUD 1945, namun sarana kedaulayan rakyat itu kini diduga dirusak oleh Sirekap yang cukup dengan biaya Rp3,5 miliar menghancurkan biaya pemilu dari APBN sebesar Rp71,5 triliun," pungkasnya.