Romo Magnis Ungkap Lima Pelanggaran Etika Berat di Pilpres 2024, Apa Saja?
Romo Magnis sebutkan 5 pelanggaran etika berat yang dilakukan pasangan capres cawapres 02 yang berimplikasi negatif pada kehidupan berdemokrasi .
Penulis: Yulis
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pilpres 2024 dinilai berlangsung dengan bersandar pada lima pelanggaran etika berat yang dilakukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, yang berimplikasi negatif terhadap kehidupan berdemokrasi di Tanah Air.
Hal itu disampaikan rohaniawan, Imam Katolik, sekaligus guru besar filsafat dan etika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno (Romo Magnis), sebagai satu di antara ahli pada sidang sengketa Pilpres 2024 dengan perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada sidang yang dipimpin langsung Ketua MK Suhartoyo tersebut, Romo Magnis mengungkapkan pelanggaran etika berat pertama yaitu pendaftaran Gibran Rakabuning Raka sebagai calon wakil presiden.
Sebab, menurutnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sudah menetapkan pencalonan tersebut sebagai pelanggaran etika berat.
“Sudah jelas. Mendasarkan diri pada keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika berat merupakan pelanggaran etika yang berat itu sendiri. Penetapan seseorang sebagai cawapres yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat,” papar Romo Magnis saat sidang lanjutan sengketa Pilpresi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Kemudian pelanggaran etika yang kedua, menurut Romo Magnis adalah keberpihakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan abuse of power terhadap paslon tertentu.
Ia menegaskan pentingnya netralitas seorang presiden dalam konteks politik.
Menurutnya, meskipun secara pribadi memiliki preferensi politik, seorang presiden seharusnya tetap netral dan tidak menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi atau mendukung secara tidak adil salah satu calon dalam pemilihan umum.
Baca juga: Romo Magnis di Sidang MK Sebut Presiden Harus Melayani Semua Masyarakat, Bukan Beberapa Pihak
Hal ini menurut Romo Magnis melanggar prinsip berdemokrasi, dan merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak integritas proses ketatanegaraan.
Oleh karena itu, penting bagi seorang presiden untuk mematuhi etika dan menjaga independensi serta netralitasnya sebagai pemimpin negara.
“Presiden boleh saja memberi tahu, bahwa ia mengharapkan salah satu calon menang. Tetapi begitu dia memakai kedudukannya, kekuasaannya, untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain, untuk mendukung salah satu paslon serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu, dia secara berat melanggar tuntutan etika, bahwa dia tanpa membeda-bedakan adalah presiden semua warga negara termasuk semua politisi," jelasnya.
Ketiga, nepotisme. Romo Magnis memaparkan pandangan moral tentang tanggung jawab seorang pemimpin terhadap rakyatnya.
Menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat untuk kepentingan pribadi atau keluarga dianggap sebagai tindakan yang memalukan dan menunjukkan ketidakmampuan pemimpin tersebut untuk memahami esensi dari jabatannya.
“Kalau seorang presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan. Karena membuktikan bahwa dia tidak mempunyai wawasan presiden 'hidupku 100 persen demi rakyatku' melainkan hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya,” tuturnya.
Baca juga: Hasto Kristiyanto Sentil soal Nepotisme hingga Eks Ajudan Jokowi Maju Pilkada Boyolali