Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Profil 3 Hakim MK yang Dissenting Opinion Putusan Sengketa Pilpres 2024, Singgung PSU hingga Bansos

Saat membacakan dissenting opinion, Saldi Isra menyoroti politisasi bantuan sosial (bansos) dan keterlibatan pejabat negara.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Profil 3 Hakim MK yang Dissenting Opinion Putusan Sengketa Pilpres 2024, Singgung PSU hingga Bansos
tribunnews.com
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK): Saldi Isra (kiri), Enny Nurbaningsih (tengah) dan Arief Hidayat (kanan). Saldi Isra, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion terhadap putusan terkait gugatan Sengketa Pilpres 2024. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saldi Isra, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih tiga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion terhadap putusan terkait gugatan Sengketa Pilpres 2024.

Putusan MK yang menolak gugatan kubu 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan kubu 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, terkait sengketa Pilpres 2024 itu dibacakan pada Senin (22/4/2024).

Saat membacakan dissenting opinion, Saldi Isra menyoroti politisasi bantuan sosial (bansos) dan keterlibatan pejabat negara.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, Ini Agenda Pilpres Selanjutnya

Secara umum, kata Saldi, ia melihat adanya pengelolaan anggaran negara yang berdekatan dengan penyelenggaran pemilu.

Tak hanya itu, Saldi juga memberikan komentar soal penyaluran bansos seiring dengan kunjungan kerja Presiden.

"Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali."

Baca juga: MK Selalu Tolak Gugatan Pilpres Sejak Tahun 2004: Prabowo Terbanyak Ditolak MK, Cetak Hattrick

"Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," tutur Saldi.

BERITA REKOMENDASI

"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa."

"Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," imbuhnya.

Profil Saldi Isra

Saldi Isra lahir di Solok, Sumatera Barat pada 20 Agustus 1968.

Ia merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Dikutip dari situs resmi MKRI, Saldi menghabiskan masa kuliahnya belajar sambil bekerja.


Lantaran, keputusannya bekerja kala itu mendapat tentangan dari keluarga yang meminta Saldi agar tetap bekerja menyokong perekonomian.

Karena itu, Saldi pun memutuskan kuliah sambil mengajar di Madrasah Aliyah dekat rumahnya.

Meski demikian, ia berhasil lulus S1 FH Unand tahun 1995 dengan meraih predikat summa cumlaude karena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mencapai 3,86.

Menjadi lulusan terbaik FH Unand membuat Saldi langsung diminta mengajar di Universitas Bung Hatta hingga akhirnya kembali ke Unand.

Selagi menjadi dosen di Unand, Saldi juga melanjutkan studi S2 di Universitas Malaya, Malaysia dan lulus tahun 2001.

Pada 2009, ia menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan predikat cumlaude, menurut database dosen Unand.

Setahun setelahnya, tepatnya pada 2010, Saldi dikukuhkan menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara Unand.

Ia kemudian dilantik menjadi Hakim MK pada 11 April 2017, menggantikan Patrialis Akbar yang terjerat kasus korupsi.

Saat ini, Saldi menjabat sebagai Wakil Ketua MK periode 2023-2028.

Sementara itu, Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya, meyakini bahwa rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berpihak pada satu pasangan Pilpres 2024.

Ia menilai apa yang dilakukan Presiden dan jajarannya terkesan menyuburkan politik dinasti.

"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," ungkap Arief, Senin, dikutip dari Kompas.com.

Lebih lanjut, Arif memperjelas bahwa sejak Pilpres 2004 hingga 2019, belum pernah ditemukan keterlibatan pemerintah dalam urusan pilpres.

Tetapi, menurutnya, pada gelaran Pilpres 2024, Presiden dan jajarannya terang-terangan menunjukkan dukungan kepada satu pasangan.

Baca juga: Usai MK Tolak Gugatan Pilpres 2024, Todung Berharap Parpol Laksanakan Hak Angket

Profil Arief Hidayat

Prof Dr Arief Hidayat SH, MS lahir pada 3 Februari 1956.

Ia adalah ahli hukum Indonesia yang terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2015-2017.

Ketika itu, ia menggantikan Hamdan Zoelva yang sudah berakhir masa jabatannya.

Dilansir situs resmi Mahkamah Konstitusi, Arief menikah dengan Tundjung Herning Sitabuana dan dikaruniai empat orang anak.

Mereka adalah Adya Paramita Prabandari, Kurnia Sadewa, Airlangga Surya Nagara, dan Elizabeth Ayu Puspita Adi.

Arief juga telah memiliki tiga cucu. Mereka adalah Indrasta Alif Yudistira, Diandra Paramita Surya Nagara, dan Darajatun Herjendra Surya Nagara

Sementara itu, Enny Nurbainingsih berpendapat, MK semestinya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah demi memastikan pemilu berjalan jujur dan adil.

"Untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah," kata Enny

Enny berpandangan, dalil yang diajukan Anies-Muhaimin dalam permohonannya beralasan menurut hukum untuk sebagian.

"Diyakini telah terjadi ketidaknetralan yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah," kata Enny.

Baca juga: 2 Hakim MK Ini sejak Awal Dicurigai Hotman Paris Bakal Dissenting Opinion di Sidang Sengketa Pilpres

Profil Enny Nurbainingsih

Enny Nurbainingsih adalah guru besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM).

Enny Nurbaningsih dilantik menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/8/2018).

Hakim Enny menggantikan hakim MK Maria Farida Indrati yang memasuki masa pensiun.

Pengambilan sumpah jabatan terhadap Enny disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo 

Enny lahir di Pangkal Pinang pada 27 Juni 1962. Adapun latar belakang pendidikannya, Enny merupakan sarjana dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 1981.

Kemudian ia menamatkan program Pascasarjana di Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1995.

Enny juga berhasil meraih gelar doktor pada program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan tesis berjudul "Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah dalam Peraturan Daerah".

Selain itu, Enny juga memiliki rekam jejak karier yang beragam di bidang hukum. Beberapa di antaranya seperti, Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact hingga menjadi penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.

Ia juga berkarier sebagai Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Enny juga pernah meraih penghargaan tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya 10 tahun. Penghargaan ini diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mengabdi selama 10 tahun dengan menunjukkan kesetiaan, kedisiplinan, pengabdian dan keteladanan bagi pegawai lainnya.

Nama Enny pada akhirnya dipilih Presiden Joko Widodo di antara dua nama lainnya, yaitu Profesor Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Ni'matul Huda dan Dosen Senior Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas