Eks Penyidik KPK Sebut Pembahasan Revisi UU Pilkada yang Terburu-buru Bentuk Korupsi Legislasi
Pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada secara terburu-buru oleh DPR pascaputusan MK disebut sebagai bentuk korupsi legislasi.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada secara terburu-buru oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 disebut sebagai bentuk korupsi legislasi.
Diketahui pada Selasa (20/8/2024) kemarin, MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
Dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 disebutkan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen atau perseorangan atau nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Namun, ternyata putusan itu nampaknya tak bertahan lama.
Sehari setelah putusan MK, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) langsung bergerak membentuk Panitia Kerja (Panja) melakukan revisi UU Pilkada.
"Tindakan DPR RI yang secara terburu-buru membahas RUU Pilkada pascaputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 adalah bentuk korupsi legislasi," kata eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Praswad Nugraha dalam keterangannya, Rabu (21/8/2024).
Baca juga: Dikebut dalam Sehari, Baleg DPR Sepakat RUU Pilkada Disahkan Jadi UU dalam Rapat Paripurna Besok
Menurut Praswad, MK hadir untuk menjaga agar tidak adanya undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Lalu, hal yang menjadi pertanyaan, ketika MK memutuskan putusan mengenai ambang batas yang membuka agar pemilihan kepala daerah menjadi lebih demokratis.
Akan tetapi, putusan tersebut menghambat kerja oligarki untuk membatasi akses publik sehingga dalam waktu sehari, proses pembahasan menjadi dipercepat sehingga menganulir putusan tersebut.
"Tindakan tersebut sangat berbeda ketika putusan MK menguntungkan kepentingan penguasa yang ada, misalnya dengan adanya alternatif syarat bagi pencalonan anak presiden," kata Praswad.
Baca juga: Sikapi Revisi UU Pilkada, Akademisi hingga Pakar Hukum Ancam Lakukan Pembangkangan Sipil
"Ini menunjukkan bahwa selera penguasa menjadi penentu sehingga prinsip-prinsip legislasi tidak lagi sesuai dengan prinsip demokratis sehingga menimbulkan korupsi legislasi," ucap Ketua IM57+ Institute itu.
Untuk diketahui, putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menjadi kabar baik bagi Anies Baswedan dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pencalonan gubernur Jakarta yang sempat menuai polemik karena "borong tiket" oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) kini dapat berubah.