Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pakar Hukum Endus Ada Pihak Pemberi Perintah Agar Terjadi Kecurangan di Pilkada Jakarta

Bivitri yakin betul, pelaku yang sudah dipecat oleh KPU Jakarta tersebut mendapatkan iming-iming dari seseorang. Sehingga melakukan pencoblosan.

Penulis: willy Widianto
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Pakar Hukum Endus Ada Pihak Pemberi Perintah Agar Terjadi Kecurangan di Pilkada Jakarta
Tribunnews.com/Fersianus Waku
Calon gubernur Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung, menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada serentak 2024 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 046 Cipete, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2024). Menjadi sorotan adalah kejadian di TPS 028 Pinang Ranti, Makassar, Jakarta Timur. Di TPS tersebut ditemukan 18 surat suara sudah tercoblos Pramono-Rano dan diduga pelakunya Ketua KPPS. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti tak heran dengan peristiwa kecurangan-kecurangan yang terjadi di setiap gelaran Pilkada termasuk pilkada serentak 2024.

Dia yakin, setiap pelaku kecurangan ada yang mengorkestrasi atau memerintahkan.

Salah satunya soal kecurangan yang terjadi di pemilihan gubernur Jakarta. Yang menjadi sorotan adalah kejadian di TPS 028 Pinang Ranti, Makassar, Jakarta Timur. Di TPS tersebut ditemukan 18 surat suara sudah tercoblos Pramono-Rano dan diduga pelakunya Ketua KPPS.

Baca juga: Sejumlah Warga Jatinegara Diduga Tak dapat Undangan Mencoblos di Pilkada Jakarta 2024

“Dan ini menurut saya, ini adalah praktik dari penyalahgunaan kekuasaan, karena para petugas itu pasti ada instruksinya, enggak mungkin dia inisiatif sendiri,” kata Bivitri yang hadir dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (3/12/2024).

Bivitri yakin betul, pelaku yang sudah dipecat oleh KPU Jakarta tersebut mendapatkan iming-iming dari seseorang. Sehingga melakukan pencoblosan terhadap surat suara Pramono-Rano.

Baca juga: Pramono Anung Klaim Menang Satu Putaran di Pilkada Jakarta, Riza Patria: Quick Count Bisa Salah

“Penyalahgunaan satu, tapi juga biasanya dikuasai dengan politik uang, maksudnya saya tahu dari kawan-kawan saya bahwa adalah lazim dalam tanda kutip untuk bayar petugas-petugas itu untuk nyoblosin,” terang Bivitri.

Bivitri juga mengungkap modus kecurangan yang biasanya terjadi di setiap pemilu. Pertama, petugas dibayar, atau ada instruksi dari seseorang untuk melakukan kecurangan.

Berita Rekomendasi

“Jadi dia dipool katanya begitu, tapi ini membutuhkan penelitian lebih lanjut ya, dipool jadi bayarnya sekian, jumlahnya besar terus dia mau dapat dari berapa Kecamatan gitu,” terang Bivitri.

Dia khawatir hal ini terjadi di Pilkada Jakarta. Ada seseorang yang mengatur bahwa pasangan calon 1,2 dan 3 mendapatkan suara sekian persen. 

“Nah bahayanya untuk Pilkada, terutama Jakarta ya, kan untuk sampai dua putaran itu tipis ya, sekarang kalau quick count bedanya tipis. Artinya kalau yang ditukar sedikit,” tutur dia.

“Jadi memang krusial banget untuk ditindaklanjuti laporan-laporan seperti itu,” tambah Bivitri.

Oleh sebab itu, dia selalu menyerukan kepada siapa saja yang ingin golput untuk tetap datang ke TPS. Akan tetapi, buat surat suara tersebut menjadi tidak sah. 

Karena jika kalangan golput tak datang ke TPS, surat suaranya sangat rentan untuk disalahgunakan oleh kekuasaan.

“Makanya saya kalau ngobrol sama teman-teman suka bilang, datang saja lah kalau mau golput coblos semua, tapi jangan enggak datang, nanti dicoblosin orang,” tegas dia.

Baca juga: Komunikasi Politik, Kunci Sukses Pramono Anung Bertarung di Jakarta, Lawan 12 Partai Plus Jokowi

Bivitri mendesak, dugaan kecurangan tersebut harus dilaporkan ke Bawaslu. Dengan begitu, kecurangan bisa ditindaklanjuti untuk gugatan selisih suara di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jadi nanti ketika dijadikan bahan di Mahkamah Konstitusi dalam sengketa hasil juga bisa ada maknanya gitu,” ujar dia.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas