Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Agnes Guer Perempuan Talibura Teruskan Warisan Leluhur, Tenun Ikat Sikka Flores

Agnes Guer, perempuan asal Talibura, Sikka, meneruskan ketrampilan leluhurnya menenun kain ikat khas Sikka, Flores, NTT.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Agnes Guer Perempuan Talibura Teruskan Warisan Leluhur, Tenun Ikat Sikka Flores
TRIBUN FLORES/GORDY DONOVAN
Mama Agnes Guer (60), warga Talibura, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, menenun kain ikat khas Sikka. Ia terampil menenun sejak usia 15 tahun. 

TRIBUNNEWS.COM, MAUMERE -   Suara berisik batang kayu beradu terdengar jelas dari samping sebuah rumah penduduk di Kampung Baru, Desa persiapan Talibura, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, NTT.

Seorang perempuan konsentrasi menggerakkan alat-alat tenun, memasukkan benang, menggerakkan papan penenun maju mundur.

Mengenakan baju berwarna pink dengan sarung tenun khas Sikka, di tangannya selembar kain tenun panjang sedang ia selesaikan.

Itulah Agnes Guer. Perempuan berusia 60 tahun itu sangat sibuk, memasukan benang, dan mengikat benang satu persatu, membetulkan sambungan tenun jika ada yang putus.

Pagi itu baru pukul 09.00 WITA, tapi suhu udara di Talibura mulai terasa menyengat kulit.

Sembari bekerja, Agnes bercerita untuk menghasilkan satu lembar kain tenun ikat, ia membutuhkan waktu selama lima hari. Itu jika tidak ada kesibukan lain di rumahnya.

"Kalau cepat itu bisa lima hari bisa selesai kerjakan, hasilkan satu tenun," ujar Agnes kepada jurnalis Tribun Flores Tribun Network, 16 April 2022.

BERITA REKOMENDASI

Agnes mengaku waktu lima hari itu hanya untuk menenun. Sedangkan untuk menyiapkan bahannya seperti benang dan membuat lilitan, butuh waktu hampir seminggu.

Karena menurutnya prosesnya cukup panjang dan tidak semudah yang dibayangkan banyak orang untuk menenun kain ikat.

Ia mengaku mampu menenun sejak berusia 15 tahun. Orangtuanya mengajarkan mereka agar bisa menenun.

Dari menenun kata Agnes, bisa menghasilkan karya dan mendapatkan uang.

Ia mengaku saat musim hujan, dirinya fokus mengurus kebun bersama suami dan anak-anak. Jika musim kemarau, ia sibuk menenun. Karena sudah banyak waktu berada di rumah.


"Saat musim hujan bekerja di kebun sambil kumpulkan bahannya, pas musim seperti ini mulai fokus tenun," ujarnya.

Ia mengaku dari hasil tenun bisa menyekolahkan anaknya dan sangat mencukupi kebutuhan keluarga.

Harga tenun bervariasi, mulai dari harga Rp 350.000 hingga Rp 750.000.

"Saya tidak jual ke pasar, saya hanya tunggu di rumah saja, karena banyak orang sudah mengetahui bahwa saya juga penenun. Jadi orang datang beli langsung di rumah," ujarnya.

Ia mengaku anak-anak perempuannya juga sudah bisa menenun. Ia terus membimbing anak-anaknya agar semakin terampil menenun, sehingga warisan lelulur mereka tetap lestari.

Ia mengaku kesulitan yang ia rasakan saat ini adalah harga benang. Harga benang kadang-kadang naik, dan itupun baginya sulit mendapatkan benang.

Ia juga tidak menginginkan agar warisan leluhur hilang begitu saja, akan tetap sebagai generasi muda, menenun harus tetap ada sampai kapanpun.

Tak hanya di Talibura, warga yang terampil menenun kain ikat ada juga di Kampung Palue Ona Nangahure, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka.

Perempuan Asal Pulau Palue di Pondok Tenun Ulimuri Alok Barat Sikka NTT
Tiga perempuan asal Pulau Palue yang mengungsi ke Alok Barat, Kabupaten Sikka di pondok tenun Ulimuri. Mereka menjadikan menenun sarung sebagai pekerjaaan sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Di sebuah rumah pondok, beberapa mama atau ibu-ibu, berkumpul sembari menarik-narik untaian  benang. Seorang di antaranya sedang menggerakkan alat tenun sembari selonjor.

Di dinding pondok, terpajang sejumlah sarung tenunan mereka.

Warga setempat menyebut pondok itu Lo'a. Atau pondok tempat menyimpan hasil dari kerja jerih payah mereka.

Bisa hasil panen, dan juga jadi tempat saling menumbuhkan ide, tempat cerita atau diskusi menghasilkan sesuatu yang berguna.

Tempat itulah yang digunakan oleh belasan warga di Nangahure Ona untuk menghasilkan sarung tenun ikat yang berkualitas.

Pada setiap hari, di Lo'a itu sangat ramai. Mama-mama mulai melakukan aktivitas mereka menyulam benang menjadi sarung hingga bisa menghasilkan uang demi kebutuhan hidup mereka.

Lo'a itu lah tempat mereka bisa mengumpulkan keping-keping rupiah agar asap dapur tetap mengepul, hingga anak-anak bisa sekolah.

Menariknya, mereka kerja secara berkelompok dan membentuk kelompok tenun ikat Ulimuri.

Ulimuri berarti tunas baru. Artinya bertunas baru terus sampai kapanpun. Mereka ingin agar warisan dari leluhur berupa tenun terus dilestarikan.

Kampung Ona Nangahure penguninya adalah warga transmigrasi dari Kampung Ona di Palue.

Mereka merupakan pengungsi dari Pulau Palue saat gunung berapi Rokatenda meletus beberapa waktu lalu.

Ketua kelompok tenun Ikat, Ulimuri, Maria Fatima Pali (37) mengatakan pondok atau Lo'a dikerjakan Oktober 2022.

Maria menyebutkan anggoat kelompok tenun Ulimuri berjumlah 16 orang dan sistem kerjanya dibagi pakai sift. Satu hari 5 orang pasti selalu ada di Lo'a untuk menenun.

"Kami ada 16 orang dan kerjanya satu hari lima orang per hari. Untuk menghasilkan satu kain tenun kami kerja empat hari dan kami jual langsung ke Pasar Alok setiap hari Selasa," ujarnya kepada Tribun Flores Tribun Network, Sabtu 11 Maret 2023.

Ia mengatakan harga tenun ikat pun bervariasi. Jika bahan tenun dibuat dari pewarna alami, maka harganya berkisaran satu juta lebih dan jika dari bahan kimia harganya berkisaran lima ratusan ribu lebih.

"Kalau tenun yang dari pewarna alami harganya satu juta hingga satu juta tiga ratus ribu. Kalau yang dari bahan kimia harganya lima sampai enak ratus ribu rupiah, " ujarnya.

Ia menjelaskan, Kelompok Tenun Ikat Ulimuri dibentuk beberapa tahun lalu.

Pembentukan kelompok ini bertujuan untuk memperat hubungan persaudaraan dan juga meringankan beban kerja.

Karena setiap hari orang-orangnya bergantian untuk duduk menenun.

Dengan kerja berkelompok sangat mempermudah dan cepat menghasilkan sarung tenun.

Perbedaan sebelum membentuk kelompok yaitu lama baru bisa menghasilkan satu buah sarung tenun karena tidak fokus dan banyak pekerjaan lain yang menghabat proses tenun.

"Kalau arti dari Ulimuri itu banyak, bisa tunas muda atau tunas baru, atau kemudi baru. Banyak artinya," ujarnya.

Ia mengatakan benang yang dipakai bisa didapatkan secara alami dari kapas asli dan digulung serta benang dibeli di toko.

"Kami gulung kapas asli dan juga beli di toko-toko," ujarnya. Sekretaris Kelompok Tenun Ikat Ulimuri, Maria Avelina Sophu (42) mengatakan kawasan itu setiap hari ramai.

Karena mama-mama mulai menenun pada pukul 10.00 Wita hingga pukul 17.00 Wita.

Ia menuturkan kebersamaan di sana sangat kuat, dan jiwa saling membantu atau gotong royongnya masih kental.

Ia mengatakan saat ini mereka didampingi oleh beberapa orang yang peduli terhadap warisan leluhur itu.

Mereka fokus memberikan pelatihan serta motivasi agar ibu-ibu di Kampung Ona terus berjuang untuk bisa bertahan hidup.

Sebab tidak ada pekerjaan lain untuk mereka lakukan selain menenun. Dari menenun mereka bisa menghidupi keluarga mereka dan memenuhi kebutuhan sosial lainnya seperti acara adat.

Ia mengaku kendala saat itu adalah pemasaran. Mereka biasanya langsung ke Pasar Alok, Kota Maumere, untuk menjual tenun.

"Kendalanya pemasaran. Alat-alat di Lo'a ini belum lengkap. Belum ada ada papan pemidang, penyangga dan alat untuk rendam benang seperti periuk tanah tidak ada, terpaksa kami pakai baskom,"ujarnya.

Ia mengatakan jika tidak menenun maka secara ekonomi akan kesulitan dan tidak akan ada penghasilan.

Sebelum pandemi Covid-19 mereka banyak mendapatkan uang dari menjual sarung tenun.

Namun, saat pandemi semua mimpi mereka seolah sirna.

Semangat mereka untuk menenun perlahan mulai pudar karena kesulitan memasarkan tenun, apalagi daya beli di pasaran sangat kurang.

Tapi mereka terus optimistis karena kini pandemi sudah berakhir dan harus bangkit meskipun masih memiliki keterbatasan sarana dan prasarana.

"Pekerjaan kami setiap hari begini sudah, kalau kami tidak tenun kami tidak bisa beli ini, beli itu, tidak bisa biayai anak-anak sekolah. Menenun ini sangat membantu kami," ujarnya.(Tribunnews.com/TribunFlores.com/Gordy Donovan)

ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ; 

Baca Selanjutnya: Cerita mama mama di sikka gotong royong buat sarung tenun ikat agar asap dapur tetap mengepul

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas