Murid-murid SD Boedingi Perangi Polusi Debu Nikel dan Deru Mesin Berat
Murid-murid SD di Desa Boedingi berperang melawan polusi debu ore nikel di musim kemarau, dan sedimen lumpur nikel di musim hujan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
“Naik perahu belinya,” kata seorang anak lelaki sembari berenang.
Begitupula saat membeli mainan dan baju baru. Namun, beberapa pedagang dari kota akan datang membawa segala kebutuhan di desa.
Para pedagang ini membawa motor yang dinaikkan di atas kapal nelayan. Juga membawa barang dagangan lalu dijual pada warga Desa Boedingi.
Mulai dari handuk, baju, mainan, dan kebutuhan lainnya. Semuanya disediakan penjual keliling ini.
Mereka (penjual) datang berkelompok dari Kabupaten Konawe Utara pada pagi hari.
Lalu nantinya berpencar ke rumah-rumah warga. Setelah itu, pulang di sore hari dijemput perahu nelayan yang disewakan.
Kondisi buruk yang kini menimpa Desa Boedingi sebagai akibat eksploitasi sumber daya alam nikel, juga dialami sejumlah kampung lain.
Bahkan kampung-kampung itu ada di tengah kawasan tambang.
“Prihatin ya, Boedingi salah satu contoh saja, tapi kan contoh yang lain juga seperti itu. Boenaga, Mandiodo. Perkampungan itu ada di dalam kawasan tambang,” kata Habib Nadjar, aktivis lingkungan di Konawe.
“Permasalahannya pun sama, tak ada solusi untuk pindah. Karena pada dasarnya mereka sudah tinggal di situ. Terlebih potensi nikelnya bagus, ya akhirnya terkepunglah,” jelasnya.
Habib Nadjar mengungkapkan kondisi ini dapat berubah, ketika pihak perusahaan dan pemerintah daerah bisa peka dan jeli melihat kerusakan ekosistem yang ada.
Salah satunya, dengan membentengi area aktivitas tambang nikel dengan pagar beton.
“Yang kita harapkan itu, jangan sampai material tambang jatuh ke laut. Ketika musim hujan tiba, sedimen juga tidak jatuh ke laut. Namun hanya ada satu solusi sebenarnya, ya harus disemen atau dibentengi. Kemudian dibuat juga saluran air agar nantinya juga tidak mencemari laut,” katanya.
Ia juga mengungkapkan adanya aktivitas pertambangan nikel tidak hanya merusak eksosistem laut yang ada, namun juga memilik dampak lebih atau multiplier effect, salah satunya budaya.
“Sekarang ini kondisinya kan warga pasrah, menunggu rejeki dari bagi hasil (royalty) mereka sudah tidak tahu. Mau pergi melaut juga, ya satu sudah jauh dan membutuhkan biaya besar,” lanjutnya.(Tribunnews.com/TribunSultra/Desi Triana)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ;
Baca Selanjutnya: Harta karun yang hilang di desa boedingi kampung suku bajo sulawesi tenggara sejak tahun