Hesti Palalangan Pelestari Seni Tari Toraja, 30 Jam Nonstop Menari Pagellu
Berdarah campuran Toraja-Ambon, Hesti Palalangan mengaku budaya Toraja memiliki pengaruh 75 persen lebih besar dalam hidupnya.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, MAKALE - Hesti Yusniati Palalangan memecahkan rekor nonstop menari Toraja di sejumlah destinasi wisata Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kecintaan terhadap seni budaya warisan leluhur membuat seniman tari Hesti Yusniati Palalangan kembali ke kampung halaman di Toraja.
Instruktur tari di Jakarta ini tampil menari 30 jam nonstop di 20 destinasi cagar budaya dan pariwisata Tana Toraja, membawakan Tari Pagellu tua yang telah ia kreasikan.
Hesti lahir di Bandung, 27 November 1976 lalu. Ayahnya berdarah Toraja dan ibu berdarah Toraja (Tikala) dan Ambon.
Walau berdarah campuran, Hesti mengaku budaya Toraja memiliki pengaruh 75 persen lebih besar dalam hidupnya.
Hesti merupakan lulusan Sarjana Pendidikan Seni Tari IKIP Jakarta yang saat ini berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Setelah mendapatkan gelar sarjananya, Hesti kemudian melanjutkan pendidikannya dan berhasil meraih gelar Master di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dalam bidang Seni Urban dan Industri Budaya.
Di Toraja, Hesti tergabung dalam Sanggar Tari Sirra di Lembang Lea, Kecamatan Makale, bekerjasama dengan Kepala Dusun setempat.
Ia mengajarkan tari kepada total 40 orang anak-anak mulai dari tingkat SD-SMP, terkhusus tarian khas Toraja, seperti Tari Pagellu tua.
Hesti mengaku sudah dua tahun turun tangan langsung untuk membantu kegiatan seni budaya yang ada di Toraja.
Sebelumnya, ia menginisiasi menari 24 jam di Kabupaten Toraja Utara, tepatnya di Buntu Pune dan mengajak tujuh seniman profesional se-Nusantara.
Saat ini, ia kembali menginisiasi Toraja in Art and Culture Festival 2023 bersama rekan-rekannya dan kembali menjadi penari dalam kegiatan menari 30 jam non-stop yang akan didaftarkan untuk rekor MURI.
Menari 30 jam non-stop ini merupakan kegiatan menari estafet di titik-titik objek cagar budaya dan pariwisata Kabupaten Tana Toraja.
Hal tersebut dikarenakan seni budaya Toraja menurut Hesti sangat beragam dan kaya serta merupakan anugerah Sang Pencipta untuk dilestarikan generasi ke generasi.
Kendati telah banyak mendapatkan pencapaian, Hesti selalu berusaha untuk menghadirkan sesuatu yang baru dan berbeda dalam setiap pertunjukan yang dilakukannya.
Selain sebagai seniman tari, Hesti juga dikenal sebagai program conceptor, show director, dan art cultural researcher.
Dalam reli tarinya, Hesti menari di Sarambu Assing, Kolesawangan, Papa Batu, Buntu Sarira', Tilanga', Kuburan Batu Lemo, Sa'pak Bayobayo, Bebo', Tumbang Datu, Suaya, Tongkonan Lea, Buntu Burake, Pango-pango, Buntu Datu, Tongkonan Sillanan, Bandara Udara, Buntu Kandora, Tarongko, Pura Tambunan Litak, dan Pasar Seni Makale.
“TACF ini berbeda. Saya berkumpul dengan teman-teman dan merencanakan festival empat bulan yang dimulai dengan tari, karena bertepatan dengan hari tari sedunia," wanita blasteran Toraja dan Ambon ini.
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Pepatah inilah yang ingin dicapai dalam menari 30 jam ini.
Sambil menarik, Hesti ingin memperkenalkan cagar budaya sekaligus tempat wisata di Tana Toraja.
"Konsepnya itu 30 jam menari, tapi dengan model estafet untuk mengangkat cagar budaya dan pariwisata yang ada di Tana Toraja,” jelas Hesti.
Lebih lanjut, Hesti ingin seni budaya yang ada di Toraja dimanfaatkan semaksimal mungkin dan disyukuri sebagai anugerah dari Sang Pencipta, bukan sebagai ajang eksploitasi.
“Penting untuk kita mengelolah dan merawat seni dan budaya Toraja dengan baik sebagai warisan leluhur yang dianugerahkan Tuhan, bukan malah mengabaikan dan membiarkannya punah atau bahkan maaf, hanya sebagai ajang eksploitasi,” tegas Hesti.
Hesti kemudian mengimbau agar seluruh aspek masyarakat, terkhusus pemerintah setempat untuk saling gotong-royong dalam melanggengkan seni budaya yang ada di Toraja.
“Bagaimana mengelolah dan merawat itu bukan hanya tugas saya sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan seni sekaligus pekerja seni, tapi semua lapisan masyarakat, khususnya pemerintah setempat," paparnya.
Pelaku budaya, pelaku seni, tokoh masyarakat tokoh adat, semuanya harus bergandengan tangan.
Tidak mungkin bisa terawat dan terkelolah dengan baik jika hanya diserahkan kepada kami saja, harus ada sinergisitas gotong-royong,” pungkas Hesti.(Tribunnews.com/TribunToraja/Muhammad Rifki)