KY: Sidang Anas Nihil Pelanggaran Etik
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu dihukum pidana delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) memantau langsung sidang vonis terdakwa Anas Urbaningrum di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kemarin. Bahkan, seorang komisioner KY turut menyaksikan langsung di ruang persidangan.
Dalam vonis, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu dihukum pidana delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
KY sendiri menyatakan, tidak ada pelanggaran kode etik yang dilakukan Majelis Hakim yang diketuai Haswandi tersebut.
"Tidak ada pelanggaran etik, itu berjalan normal, biasa saja," kata Ketua KY Suparman Marzuki saat dikonfirmasi, Kamis (26/9/2014).
Meski begitu, KY merasakan putusan-putusan yang dijatuhi majelis hakim Pengadilan Tipikor selama ini belum menunjukkan konsistensi. Karenanya, ia berharap hakim-hakim di Pengadilan Tipikor dapat menjaga konsistensinya terhadap terdakwa kasus korupsi.
"Kalau ada satu kasus yang relatif sama, pelaku tindakannya dengan pelaku berikutnya itu konsistensi harus dijaga. Kalau yang sebelumnya hak politiknya dicabut dengan relasi sama, maka harus dicabut juga hak politiknya," kata Suparman mencontohkan.
Contoh lain inkosistensi majelis hakim, terang dia, adalah mengenai dakwaan tindak pidana pencucian uan (TPPU). Ada hakim yang tak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Ada hakim yang menganggap KPK tidak bisa mengadilkan TPPU. Ini kan pengadilan di bawah MA, (hakim-hakim) berbeda (pandangan) dalam memaknai kewenangan penegak hukum. Nah yang seperti ini lah inkonsitensi yang menjadi problem tersendiri," kata Suparman.
Inkonsistensi itu yang masih terlihat dalam sidang kasus dugaan penerimaan hadiah atau gratifikasi proyek Hambalang, proyek-proyek lain, dan TPPU. Khususnya mengenai tuntutan pencabutan hak politik.
"Jadi dalam persidangan Anas itu ada inkonsitensi di Pengadilan Tipikor. Ini kan harusnya bila ada (kasus korupsi) yang relatif sama, latar belakang sama, unsurnya sama, meskipun kuantitasnya berbeda, itu harusnya menimbulkan konsistensi," imbuh Suparman.