KontraS Laporkan Hakim Kasus JIS ke Komisi Yudisial
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan akan melaporkan kelima hakim dalam kasus dugaan kekerasaan seksual di JIS
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) akan melaporkan kelima hakim dalam kasus dugaan kekerasaan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) kepada Komisi Yudisial (KY).
Koordinator KontraS, Haris Azhar, mengatakan pertimbangan majelis hakim dalam mengambil keputusan ini hanya berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) yang disusun oleh polisi tanpa mempertimbangkan fakta-fakta dan keterangan para saksi selama persidangan.
"Kami mengikuti terus proses hukum kasus ini. Apa yang telah diputuskan hakim sangat tidak berdasar dan menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat. Kami akan melaporkan seluruh hakim ke KY agar bisa terungkap apa sebenarnya motif kasus ini, pidana atau uang yang sangat besar itu (Rp 1,5 triliun)," ujarnya.
Lima orang hakim yang memimpin persidangan dari kasus petugas kebersihan PT ISS ini adalah Ahmad Yunus, SH., Usman, SH., Nelson Sianturi, SH., Dr. Yanto, SH., MH., Handri Anik Effendi, SH.
Haris menegaskan, berdasarkan investigasi yang dilakukan KontraS, kasus JIS ini diduga sudah salah prosedur sejak awal. Salah satu indikasinya adalah pernyataan dari para pekerja kebersihan tentang adanya penyiksaan selama proses penyidikan di polisi. Bahkan salah satu pekerja kebersihan meninggal di Polda Metro Jaya.
"Kematian Azwar harus diungkap, dilakukan aotopsi oleh tim independen agar kasus ini terang-benderang. Dugaan adanya pelanggaran HAM dalam kasus ini sangat terasa," tuturnya.
Selain melaporkan majelis hakim ke KY, KontraS juga akan melakukan examinasi terhadap putusan hakim dengan melibatkan para pakar hukum. Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang utuh terhadap proses peradilan kasus JIS hingga penetapan putusan yang tidak lazim.
"Bulan Januari 2015 kami akan lakukan examinasi kasus JIS, agar kebenaran dan keadilan itu sebuah fakta, bukan rekayasa," imbuhnya.
Kemarin (22/12), majelis hakim PN Jakarta Selatan secara kontroversial menghukum lima pekerja kebersihan PT ISS dengan hukuman 7 tahun penjara untuk Afrischa dan masing-masing 8 tahun penjara kepada Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Syahrial dan Zainal Abidin.
Kelima pekerja kebersihan itu juga didenda sebesar Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara karena dianggap terbukti melakukan sodomi terhadap MAK.
Pertimbangan utama majelis hakim dalam memutuskan kasus ini adalah kesaksian anak, salah satunya bernama ADP yang mengatakan bahwa ia melihat MAK disodomi oleh para terdakwa di toilet JIS. Ini aneh. Karena dalam keterangannya ADP melihat sodomi melalui lubang pintu toilet. Sementara faktanya dibalik pintu toilet itu langsung berhubungan dengan tembok, sehingga mustahil melihat kegiatan di dalam toilet.
Selain itu, majelis hakim juga mendasarkan keterangan dokter Oktavinda Safitri dari RSCM. Dalam kesaksiannya di persidangan, Oktavinda menegaskan bahwa kondisi dubur MAK normal. Hal ini juga sesuai visum yang dilakukannya terhadap si anak. Namun dalam keterangan yang lain Oktavinda menyatakan, meski kondisi dubur normal, mungkin saja peristiwa sodomi tersebut terjadi.
Keraguan Hakim
"Jadi pekerja kebersihan ini dihukum dengan dasar kemungkinan. Sungguh sesat menghukum orang dengan cara seperti ini. Putusan hukum seharusnya diambil berdasarkan keyakinan hakim, bukan keraguan hakim seperti ini," tegas Saut Irianto Rajagukguk, salah satu pengacara pekerja kebersihan.
Saut mengatakan, dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini hanya mengikuti BAP yang disusun oleh polisi. Sementara polisi sendiri dalam menangani kasus ini tidak menjalankan prosedur yang benar.
Sebagai contoh, dalam menetapkan tersangka polisi tidak melakukan investigasi secara independen dan hanya mengikuti semua keterangan ibu korban. Bahkan lokasi tempat kejadian perkara baru dilakukan sterilisasi sebulan setelah laporan ke polisi.
Fakta lainnya, hakim menyebutkan bahwa kasus sodomi ini terbukti karena sesuai pengakuan para terdakwa dalam BAP. Padahal, seluruh terdakwa telah mencabut BAP sejak mereka dipindahkan ke tahanan LP Cipinang, Jakarta.
Pencabutan BAP ini didasari bahwa seluruh keterangan terdakwa diambil dalam posisi mereka mendapatkan kekerasan fisik dan penyiksaan. Bahkan salah satu pekerja kebersihan yaitu Azwar meninggal di Polda Metro Jaya saat penyidikan dengan kondisi wajah lebam, mata bengkak dan bibir pecah bekas kekerasan.