Peradi: Jangan Asal Tunjuk Saksi Ahli
Kehadiran saksi ahli memiliki peran penting dalam pengungkapan kebenaran dan mewujudkan keadilan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Advokad Indonesia (Peradi) menilai penunjukan saksi ahli yang tidak memiliki kompetensi berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia.
Kehadiran saksi ahli memiliki peran penting dalam pengungkapan kebenaran dan mewujudkan keadilan.
Demikian pernyataan Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan menanggapi penunjukkan sejumlah saksi ahli yang dianggap tidak berkompeten dalam sidang dugaan kekerasan seksual yang melibatkan dua guru Jakarta Intercutural School (JIS).
"Saksi ahli itu harus memberikan kejelasan untuk suatu kasus. Jadi harus dilihat jenjang akademisnya, (apakah dia) memiliki pengalaman menangani kasus serupa apa belum. Keterangan saksi ahli menjadi barang bukti. Kalau tidak kompeten maka akan sangat berbahaya bagi penegakan hukum," kata Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan, Senin (19/1/2015).
Sebelumnya dalam sidang dua guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong di PN Jakarta Selatan pada 15 Januari 2015, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tiga orang sebagai saksi ahli.
Ketiga ahli yang dihadirkan adalah Nella Safitri Cholid, Nurul Adiningtyas dan Setyani Ambarwati, dimana masing-masing berlatar belakang psikolog.
Namun dalam persidangan, keterangan ketiga ahli tersebut justru meragukan. Selain tidak memiliki rekam jejak panjang dalam kasus-kasus kekerasan seksual, ahli yang dihadirkan juga tidak mampu memberikan keterangan meyakinkan.
Ketiga ahli tidak dapat menjelaskan kondisi kejiwaan anak ketika mengungkap pelaku dugaan tindak kekerasan seksual yang menyakitinya.
Rendahnya kompetensi ahli ini terbukti saat Nella tidak mampu menunjukkan sertifikasi sebagai psikolog forensik, kompetensi yang dibutuhkan dalam pengungkapan kasus ini. Nella hanya menguasai psikologi klinis.
Sedangkan Nurul, dalam mengungkap kasus ini hanya menggunakan buku tahunan JIS yang dijadikan alat utama untuk menunjuk dua guru JIS sebagai terdakwa.
Sementara ahli ketiga yaitu Setyani justru seperti tidak memahami masalah dan cenderung memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kasusnya.
"Hakim tidak bisa serta-merta menerima saksi ahli jika jenjang akademisnya tidak sesuai dan tidak berpengalaman terhadap kasus serupa. Jika keterangannya tidak tepat akan sangat berbahaya itu," katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh aktivis HAM dari Imparsial, Ghufron. Menurut dia, saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan seharusnya memiliki kesesuaian dengan konteks permasalahannya. Sehingga keterangan yang diberikan sinkron dengan kasus yang sedang disidangkan.
"Keterangan seorang ahli sangat penting untuk mendukung proses persidangan. Itu sebabnya keahliannya harus sesuai dengan kasus di persidangan," tegas Gufron.
Tracy Bentleman, istri dari Neil Bantleman, salah satu guru terdakwa, dalam penjelasannya mengatakan, berdasarkan keterangan suaminya setelah persidangan, diketahui bahwa ahli Nurul sangat menggantungkan analisanya pada interpretasi dari gambar anak diduga korban yang diberikan oleh para orang tua dan/atau digambarkan dihadapan seorang psikolog lainnya.
Ahli tersebut hanya sekali menangani kasus dugaan sodomi sepanjang kariernya, sehingga kompetensinya dalam menganalisa kasus ini dapat dipertanyakan.
Kasus yang melibatkan dua guru JIS terus menuai kontroversi. Seperti halnya kasus yang menimpa lima pekerja kebersihan PT ISS, fakta-fakta dan bukti-bukti yang digunakan untuk menjerat dua guru JIS sangat lemah. Seperti dalam keterangan saksi korban MAK. Dalam keterangannya ia menyatakan bahwa sebelum mengalami sodomi, si anak tersebut diberikan magic stone yang diambil dari langit dengan pesawat.
"Keterangan anak tidak bisa dianggap sebagai keterangan saksi. Namun keterangan ahli yang tidak berkompeten akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum," kata Mahareksha Dillon, salah satu pengacara Neil dan Ferdi akhir pekan lalu kepada wartawan yang menghubunginya.