Pemilik Bioskop Bisa Seleksi Film yang Akan Tayang
Para pelaku perfilm-an Indonesia mulai dari sutradara, asosiasi pemilik bioskop dan beberapa pihak terkait
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pelaku perfilm-an Indonesia mulai dari sutradara, asosiasi pemilik bioskop dan beberapa pihak terkait, menyepakati perlu ada seleksi jenis film yang bisa dan layak tampil di bioskop tanah air.
Hal itu dilakukan mengingat terjadinya penurunan jumlah penonton film lokal di bioskop tanah air yang itu tidak lain karena terjadinya penurunan kualitas film lokal yang pernah ditayangkan.
Demikian benang merah dari diskusi publik "Meningkatkan Minat Penonton Film Nasional" di Hotel Millenium Jakarta, Senin(23/3)
Menurut ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmodjo dirinya setuju jika gedung bioskop melakukan seleksi tersebut.
Dan kewenangan itu, jelas menjadi kewenangan gedung. Kalau bioskop menganggap suatu film layak, maka bisa ditayangkan, tetapi kalau tidak, bioskop berhal menolak.
“Ini analog dengan toko buku yang berhak menolak buku-buku yang dianggap jelek,” kata Kemala yang menjadi salah satu nara sumber pada acara tersebut.
Nara sumber lain, Ody Mulya Hidayat juga sangat setuju dengan usulan tersebut. Sikap Ody, tak lepas dari banyaknya film nasional yang berkualitas rendah. Kondisi tersebut, lanjut Ody, sangat mengganggu dan sangat berpengaruh terhadap film-film nasional saat ini.
“Jumlah penonton bisa tambah drop bila tidak diseleksi,” kata Ody yang juga Ketua Persatuan Peruashaan Film Indonesia (PPFI)
Mengenai kewenangan bioskop sebagai penyeleksi, karena akan berjalan lebih fair. Sedangkan jika seleksi dilakukan oleh badan baru yang dibentuk, justru akan menimbulkan ekses samping, karena ujung-ujungnya justru menjadi ajang negosiasi.
“Jadi, silakan bioskop sendiri yang menyeleksi dan mengatur, sesuai dengan kebijakan yang dimiliki bioskop. Dan Saya sangat setuju dengan dibuat satu screening itu. Saya sangat setuju sekali,” kata Ody.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin, juga sama. Dia menggarisbawahi pendapat Ody Mulya Hidayat, yang menurutnya sangat menarik.
Menurut Djonny, usulan tersebut bisa menjadi jalar keluar aas persoalan rendahnya kualitas film nasional, yang berimbas pada rendahnya tingkat penonton film nasional.
“Untuk itu saya setuju adanya seleksi yang dilakukan oleh bioskop. Itu penting dicatat!” katanya.
Djonny mengatakan, buruknya kualitas film memang menjadi penyebab minimnya minat penonton film nasional. Untuk itu dia mengatakan, kunci utama untuk meningkatkan animo penonton film adalah kualitas, yang antara lain bisa dilakukan melalui seleksi.
“Jika film-film Indonesia yang diproduksi berkualitas, meski dari sisi kuantitas tidak terlampau banyak, namun bisa meningkatkan jumlah penonton,” kata Djonny.
Djonny juga menepis tudingan bahwa tidak ada rasa nasionalisme hanya karena lebih mengutamakan film-film impor ketimbang film nasional.
Padahal, lanjut Djonny, bioskop di Indonesia sebenarnya memberi kesempatan banyak kepada film nasional, namun justru hal itu menurunkan jumlah penonton.
“Apanya yang tidak nasionalis? Pernah bioskop menghentikan jadwal tayang film asing, meski masih berpotensi meraup banyak penonton, yakni sekitar 400 penonton. Sebagai gantinya, ditayangkan film nasional. Namun kenyataannya, film tersebut ternyata hanya ditonton oleh 3o-an orang,” katanya.
Di sisi lain, Corporate Secretary jaringan bioskop XXI Catherine Keng setuju dengan Kemala, bahwa penonton film tidak bisa didikte. Menonton film, lanjut Catherineyang saat itu menjadi audiens, dilakukan ketika si penonton memiliki waktu luang yang sangat terbatas.
Dalam waktu sesempit itu, tentu saja penonton akan memilih film terbaik menurut dirinya. Dan faktanya, ternyata tidak banyak yang memilih film nasional. Itu artinya, bahwa dari sisi kualitas, memang harus ditingkatkan.
Seleksi itu memang sangat penting. Catherine Keng mengaku, selama ini jaringan bioskop XXI kerap terganggu dengan permintaan dari film nasional untuk tayang, padahal dari sisi kualitas tidak memadai.
“Setiap hari kami menerima permintaan dan bahkan ancaman,” tutur Chaterine.