Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Deudeuh, Tebet, Kemajemukan

Dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, wilayah Tebet, Jakarta Selatan, berkembang dari daerah hunian menjadi pusat bisnis dan kuliner

Editor: Sanusi
zoom-in Deudeuh, Tebet, Kemajemukan
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Salah satu rumah kos-kosan di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (16/4/2015). Sejumlah kos-kosan tersebut diduga menjadi sarang wanita malam dan beralihfungsi sebagai tempat kencan pria hidung belang. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA 

Oleh: DENTY PIAWAI NASTITIE

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, wilayah Tebet, Jakarta Selatan, berkembang dari daerah hunian menjadi pusat bisnis dan kuliner. Sejumlah kos-kosan, hotel, pusat perbelanjaan, rumah makan, salon, dan kafe tumbuh menjamur. Tebet belakangan menyita perhatian publik menyusul kasus kematian tragis Deudeuh Alfisahrin (27) di kamar kosnya.

Asisten Perekonomian Wali Kota Jakarta Selatan Ruslan menuturkan, Tebet berkembang sejak tahun 1960-an. Kala itu, pemerintah menyiapkan pembangunan Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (Ganefo) sebagai tandingan Olimpiade. Untuk menunjang perhelatan akbar itu, pemerintah membangun gedung olahraga dan perkampungan atlet di daerah Senayan. Saat itulah, penduduk Senayan dipindahkan ke Tebet.

Sebagai tempat pemukiman baru, pemerintah membangun rumah, jalan, taman, dan fasilitas umum lainnya. Meski pada awalnya banyak orang enggan tinggal di Tebet, kini daerah itu berkembang menjadi kawasan hunian, bisnis, dan pendidikan.

Kecamatan Tebet terdiri dari tujuh kelurahan, yaitu Tebet Barat, Tebet Timur, Kebon Baru, Bukit Duri, Manggarai, Manggarai Selatan, dan Menteng Dalam. Kecamatan ini tergolong strategis karena berbatasan dengan Sungai Ciliwung dan jalan raya, seperti Jalan MT Haryono dan Jalan Cassablanca. Selain itu, kecamatan ini juga berdekatan dengan Stasiun dan Terminal Terintegrasi Manggarai, Stasiun Tebet, dan Stasiun Cawang. Kemudahan akses itulah mendorong pesatnya perkembangan Tebet. Warga bisa dengan mudah naik angkutan umum dalam kota, bus transjakarta, atau kereta rel listrik.

Pengurus Lembaga Musyawarah Kelurahan Tebet Timur Jajang Yayat mengatakan, daerah tempat tinggalnya berkembang dalam 5-10 tahun terakhir. Perkembangan itu dipicu hadirnya gedung-gedung pencakar langit, seperti hotel, apartemen, dan mal di kawasan Kuningan, Kasablanka, Gatir Subroto-Saharjo, hingga Manggarai.

Sejumlah warga Ibu Kota kerap menjadikan Tebet sebagai meeting point. Mereka mengadakan pertemuan dengan teman atau rekan bisnis di kafe atau restoran yang bertebaran di sana. Berbagai sisi positif Tebet inilah yang mendorong banyak penduduk asal luar Kota Jakarta menyewa kamar kontrakan atau kos-kosan di wilayah Tebet untuk tempat tinggal.

Berita Rekomendasi

Tebet kemudian menjadi tempat hunian warga dari berbagai latar belakang, mulai dari ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran, termasuk pekerja seksual.

Deudeuh yang menjadi korban pembunuhan di kamar kosnya, Sabtu (11/4) malam lalu adalah salah satunya. Dia menghuni rumah kos di Tebet sejak tiga tahun lalu. Perempuan asal Pancoran Mas, Depok, ini menyewa kamar berukuran 3 x 4 meter seharga Rp 2 juta per bulan. Kamar itu dilengkapi pendingin udara, kamar mandi dalam, springbed, dan lemari.

Saat ditemukan, ibu satu anak ini dalam kondisi terjerat lehernya dengan kabel dan mulutnya tersumpal kaus kaki hitam. Empat hari setelah jenazah ditemukan, polisi menangkap pelaku pembunuhan itu. Dia adalah MPS (24), pria teman kencannya.

Menurut MPS, dia sudah dua kali berkencan dengan Deudeuh. Mereka berkenalan melalui jejaring sosial Twitter. Saat mengunjungi Deudeuh di Tebet, MPS selalu naik kereta api listrik (KRL). Berangkat dari tempat kerjanya sebagai pengajar matematika di Rumah Belajar Clavius, Kedoya, Jakarta Barat, dia lalu turun di Stasiun Tebet. Kemudian dia naik ojek ke kos Deudeuh. Kencan itu tragis karena amarah MPS yang berujung tewasnya Deudeuh.

Wi (53), warga yang pernah tinggal di daerah Tebet, menuturkan, bisnis prostitusi di wilayah itu sudah ada sejak tahun 1990-an. "Dulu hanya ada tiga rumah yang dijadikan tempat prostitusi. Pemilik rumah membayar petugas kelurahan dan kecamatan agar bisnis mereka tidak ditutup," kata Wi.

Warga setempat rupanya cukup permisif. Kehidupan warga berjalan seperti kebanyakan daerah lain di Ibu Kota. Warga dari berbagai latar belakang hidup berdampingan. Aktivitas mengaji, arisan, posyandu berjalan secara normal dan guyub.

Yuni (40), warga setempat, mengatakan, tetangganya berasal dari berbagai kalangan. Ia menolak daerahnya distigma sebagai pusat prostitusi. "Selama ini tak ada masalah karena warga saling menghargai dan tak pernah menyakiti," kata perempuan yang mengelola toko pengisian pulsa ini.

----------

Artikel ini sebelumnya ditayangkan Harian Kompas edisi Jumat, 17 April 2015, dengan judul "Deudeuh, Tebet, Kemajemukan"

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas