Pasar Batu Akik Rawa Bening Sudah 'Bersinar' Sejak Pukul 03.00
Sabtu (18/4/2015) dini hari itu, kawasan Pasar Rawa Bening, yang termasyhur sebagai pasar batu akik, masih sepi.
Editor: Gusti Sawabi
Herman (42), pedagang asal Pandeglang, Banten, mengatakan, butuh waktu 6-7 jam dari rumahnya untuk sampai ke Rawa Bening. Ia sadar kesehatannya bisa terancam karena sering terkena angin malam saat tidur di emper toko atau di mobilnya.
Bahkan, saat ini terbukti kematian pun bisa mengincar mereka, seperti yang terjadi pada keluarga penjual batu akik asal Bengkulu. Ayah, ibu, dan anak itu ditemukan tewas di dalam mobilnya yang diparkir di dekat Rawa Bening, Jumat lalu.
Namun, Herman mengaku merasa nyaman menjalani semuanya demi menghidupi istri dan ketiga anaknya.
”Hidup kami memang tidak enak-enak amat. Tetapi, kami mempunyai banyak kenalan sejak jadi pedagang batu,” ujarnya. Dia tak pernah menganggap pedagang batu lain sebagai rival. Menurut dia, pedagang batu justru bisa bekerja sama.
Sementara Andi Wahyu Saputro (37) pedagang asal Blitar, Jawa Timur, mengatakan, menjual batu tak hanya bicara soal harga. Menurut dia, komunikasi antara penjual dan pembeli bisa sangat menentukan.
”Saya pernah melepas batu pancawarna Nusakambangan kepada pembeli secara gratis. Padahal, harganya sekitar Rp 500.000,” ujarnya.
Sekitar pukul 04.00, pembeli mulai datang ke mobil-mobil para pedagang ini. Pembeli yang datang di waktu subuh seperti itu biasanya para pedagang eceran.
Salah satu pembeli yang datang pagi itu adalah Trisno (49) pengecer asal Tangerang. Dia sengaja datang subuh-subuh karena harus kembali menjual batu akik itu di daerah asalnya.
”Saya, kan, harus jualan lagi, jadi harus datang subuh. Lagipula kalau subuh, jumlah barang dan pilihannya masih banyak,” ujarnya.
Pagi pun beranjak siang di Rawa Bening. Aktivitas kembali riuh di pasar tersebut. Dan demam batu akik pun berlanjut... (B07)