Catatan Kritis Triwisaksana Satu Tahun Gubernur Ahok
Positif bahwa ada sektor-sektor secara nyata lebih baik dibandingkan sebelumnya
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana memberikan nilai 5/10 terkait Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang telah memimpin Jakarta selama setahun.
Alasan pria yang akrab disapa Sani memberikan nilai 5, karena menurutnya ada tiga hal positif dan tiga hal negatif yang telah dilakukan Ahok selama setahun Mantan Bupati Belitung Timur itu menjadi orang nomor satu di ibu kota.
"Positif bahwa ada sektor-sektor secara nyata lebih baik dibandingkan sebelumnya," ujar Sani saat ditemui di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Kamis (19/11/2015).
Poin-poin positif tersebut terkait adanya perubahan dalam mekanisme penyerapan anggaran dengan menggunakan e-budgeting.
Kata Sani, penyerapan anggaran bisa transparan dan akuntabel dengan sistem e-budgeting.
"Yang kedua perizinan dengan dibuat badan PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Itu mempermudah warga, untuk mengurus ragam perizinan," kata Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Untuk poin positif ketiga, ujar Sani, adanya pelbagai jenis kartu pelayanan kesejahteraan, seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan E-Natura.
"Itu harus diakui lebih baik dibandingkan sebelumnya," katanya.
Tidak hanya hal positif yang ada pada catatan Sani. Tapi ada tiga catatan kritis darinya kepada Ahok, yang membuat Jakarta belum beranjak dari keterpurukan.
Sani mencontohkan bagaimana kota Jakarta dinobatkan sebagai kota termacet di dunia.
Hal tersebut terlihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Castrol Magnetec dengan menghitung Stop-Start Index.
"33 ribu kemacetan per tahunnya mengalahkan kota besar di dunia lainnya. Di jalanan kemacetan bertambah rumit dan ruwet. Solusinya belum kelihatan," kata Sani.
Catatan kritis kedua Sani, bahwa roda pembangunan di Jakarta yang tidak maksimal. Hal itu, kata Sani, terbukti dari penyerapan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang baru mencapai 34 persen.
"Paling rendah dibandingkan provinsi lainnya. Penyerapan rendah merupakan hilir atau muara, bahwa manajemen birokrasi yang kurang tepat," kata Sani.
Catatan kritis yang terakhir dari Sani adanya permasalahan pengelolaan keuangan. Hal itu terlihat pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
"Pengelolaan keuangan daerahnya ada indkasi kerugian daerah sebesar Rp 1,5 Triliun berarti tidak lebih baik dari periode sebelumnya. Tidak lebih baik dari perode sebelumnya," ujar dia.
Jadi kata Sani, "Nilainya seimbang," katanya.