Diana Bersama Dua Bocah dan Satu Manula Terkurung Dalam Rumah yang Disegel
Kedua anaknya kerap menangis karena sudah lima hari tak sekolah dan kangen sama teman-temannya.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Diana (47) bersama kedua anaknya, Abigail (5) dan Rout (5) serta Azhari (84) terkurung lantaran pintu pagar rumahnya dirantai orang.
Kedua anaknya kerap menangis karena sudah lima hari tak sekolah dan kangen sama teman-temannya.
Warta Kota menyambangi rumah yang berlokasi di Jalan Taman Kebon Sirih III, Nomor 9 RT 009/010, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat itu, Senin (11/1/2016) sore tampak sepi.
Rumah tua satu lantai itu terkunci rapat dari luar. Ada rantai yang melilit di pintu, kemudian gembok besar.
Pintu dan jendela juga ditutup kayu berlapis.
Walau seluruh akses masuk rumah tertutup rapat, suara kedua bocah yang sedang bermain terdengar dari luar rumah.
Teriakan khas anak-anak terdengar samar-samar dari dalam rumah.
Mencoba melihat lebih dekat kehidupan Diana sekeluarga, Warta Kota pun meminta izin kepada salah satu tetangga untuk masuk melompati pagar.
Niat Warta Kota ternyata disambut baik Diana, ibu dari tiga orang anak itu pun turut menempatkan tangga sebagai akses turun Warta Kota.
"Hati-hati jatuh, ya mas. Sebenarnya saya nggak boleh persilakan masuk tapi nggak apa-apa, daripada ngobrolnya teriak-teriak," ujar Diana tersenyum sembari memegangi tangga panjang setinggi enam meter.
Setelah Warta Kota menginjakkan kaki di area pelataran rumah, perbincangan tidak dapat segera dilakukan lantaran Diana berkali-kali dipanggil dari arah belakang rumah.
Sesaat meminta izin, perempuan keturunan Tionghoa itu pun bergegas menuju belakang rumah.
Menaiki kursi untuk melompat ke atas meja, dia pun kembali berteriak kepada seseorang di balik tembok, yakni ibu Anna, Kepala RT 009/010 Kampung Bali.
Tidak berselang lama, satu kantong plastik besar berisi sate kambing lengkap dengan tiga bungkus nasi putih ditempatkan pada ujung bambu kemudian diambilnya.
"Makasih ya bu," teriak Diana semringah kepada Anna yang membalasnya dengan penawaran makanan lainnya.
"Itu Ibu Anna, bu RT saya. Beliau memang baik, karena sejak saya terkunci, beliau sering kirim kami makanan. Sebenarnya nggak enak kalau terus begini, tapi mau bagaimana lagi," ungkapnya.
Intimidasi
Alasan mengapa dirinya enggan membebaskan diri dan mendobrak pintu depan bukan karena tak memiliki kekuatan.
Tetapi, dikarenakan dirinya tidak ingin beberapa preman yang diduga disewa pihak Asuransi Jiwasraya, selaku pemilik Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), merangsek masuk dan menguasai rumah keluarga yang sudah ditinggalinya sejak tahun 1946 silam.
Pasalnya, sejak rumah milik kakeknya, R Moh Moechsin itu disegel oleh pihak Asuransi Jiwasraya sekira lima hari lalu, tepatnya Rabu (6/1), sejumlah preman kerap datang dan mengancam Diana sekeluarga dengan kata-kata intimidasi.
"Mereka mengintimidasi setiap hari, nggak kehitung jumlahnya, mas. Mereka minta kami keluar dari rumah karena mereka pegang Sertifikat HGB. Tapi saya nggak mau, karena lahan ini sudah kami tempati jauh sebelum HGB mereka terbit tahun 1994. Lahan ini sudah didaftarin kakek saya di Kantor Administrasi Belanda tahun 1946," jelasnya.
Keterangan Diana pun dibenarkan oleh sang ayah, Azhari.
Sambil terbata-bata, kakek yang pernah diserang stroke beberapa tahun lalu itu menceritakan jika legalisasi lahan seluas 628 meter persegi itu telah dilakukannya bersama sang istri, almarhum Erka Azhar, wartawan Harian Kompas pada tahun 1970 silam.
Namun, lantaran dirinya dipindahtugaskan ke Lombok sebagai Kepala Perdagangan Departemen Perdagangan RI, pembuatan sertifikat terkendala.
Hingga akhirnya, pihak asuransi datang dan menunjukkan sertifikat HGB pada tahun 1994 kepada keluarganya.
"Saya keberatan, karena BPN (Badan Pertanahan Nasional-red) menerbitkan HGB, padahal sudah jelas lahan masih ditempati," keluhnya menyesalkan BPN.
Gugat Balik
Terkait penyegelan sekaligus penguncian yang dilakukan pihak Asuransi Jiwasraya, Diana mengaku telah menggugat balik perusahaan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 23 Desember 2015 lalu.
Melalui kuasa hukumnya, dirinya meminta kepada pihak Asuransi Jiwasraya mencabut plang penyitaan sekaligus membuka gembok rumahnya.
Penguncian sepihak oleh Asuransi Jiwasraya secara langsung merenggut kebebasan Diana sekeluarga, khususnya Abigail (5), siswi TK Hati Suci dan Rout (5) siswi kelas I SD Hati Suci.
Kedua bocah itu tidak hanya tidak dapat bersekolah seperti biasa, mereka pun tidak dapat bermain dengan teman-temannya seperti biasa.
"Kangen teman sekolah sama nggak bisa main, om. Kami juga nggak bisa ketemu kakak (Affi (15) kelas I SMK di Santa Maria-red) kangen semuanya," ungkap Rout sambil menahan tangis. (Dwi Rizki)