Penggusuran Luar Batang, Seperti Mimpi Buruk yang Jadi Kenyataan
Penyakit darah tinggi Umairoh kambuh seminggu lalu atau setelah ia mendengar kabar rencana penggusuran
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Warga Luar Batang cemas. Raut wajah muram terlihat dari orang-orang yang berkumpul di beberapa lokasi yang digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Satu sama lain saling mencurahkan kesedihan, kebingungan, bahkan kemarahan.
“Ini seperti mimpi buruk yang benar-benar menjadi kenyataan,” kata Umairoh (40), warga RT 12 RW 04 kepada Warta Kota, Selasa (29/3/2016).
Penyakit darah tinggi Umairoh kambuh seminggu lalu atau setelah ia mendengar kabar rencana penggusuran. Pikiran jadi rancu sepanjang hari. Terlebih hingga kini ia belum menerima informasi secara utuh soal rencana penggusuran.
“Kami, warga tidak pernah diajak bicara. Minimal dikasih tahu kapan akan digusur, biar ada persiapan-persiapan. Janganlah bikin kami pusing seperti ini,” kata ibu tiga anak ini.
Yang semakin menyedihkan, kata Umairoh, aliran air bersih mendadak dimatikan sejak seminggu lalu tanpa ada pemberitahuan. “Jadinya sehari kami beli air jeriken untuk keperluan mandi, cuci, masak. Lumayan juga. Sehari bisa habis Rp 60.000 hanya untuk keperluan beli air.”
Tasmo (48), warga lain di RT 12, tak kalah lesu. Kabar penggusuran seperti hantaman keras bagi pria yang berprofesi sebagai tukang pikul di Pasar Ikan Luar Batang. Selama seminggu ini, ia tidak tahu harus berbuat apa. Melawan pemerintah rasanya tidak mungkin. Meski ia ingin berteriak atas nama keadilan.
“Katanya nanti kami akan disediakan rumah susun. Tapi pemerintah tolong perhatikan juga hal-hal lain. Misalnya ganti untung rumah yang kami beli,” kata Tasmo.
Pengertian
Tasmo mengatakan, pada tahun 1988 ia membeli rumah seluas 28 meter persegi seharga Rp 6 juta. Selain itu, masalah lain yang membuat Tasmo pusing adalah soal kerja jika rumah susun sebagai tempat relokasi jauh dari Pasar Ikan, tempatnya bekerja.
“Anak saya empat. Saya masih harus kasih nafkah. Kalau mendadak dipindah ke Marunda atau Cilincing, bagaimana nanti kerja saya. Bagaimana juga nanti sekolah anak-anak saya,” kata Tasmo.
Rini, Ketua RT12, merasakan kesedihan yang dialami warganya. Hampir setiap waktu, warga di lingkungannya silih berganti menemui dirinya untuk menanyakan kejelasan penggusuran dan solusi setelah digusur.
“Kami paham bahwa tanah yang kami tempati milik pemerintah. Tapi warga meminta gubernur memberikan keadilan dan kemurahan hatinya. Kami dulu juga membeli rumah yang kami tempati sekarang. Maka warga ingin ada ganti untung, bukan ganti rugi,” kata Rini.
Beberapa hal lain juga harus dipikirkan pemerintah dalam proses relokasi ke rumah susun.
“Semua warga beraktivitas dan bekerja di sini, sementara tempat relokasi yang diberikan jauh. Bagaimana nanti mereka menafkahi keluarganya? Bagaimana pula anak-anak yang masih sekolah di sekitar sini? Apa pemerintah berpikir sampai sejauh itu?” kata Rini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.