Hunian Vertikal di Jakarta Jadi Keharusan dan Belum Tertata Baik
Kawasan hunian vertikal menyisakan masalah yang pelik mulai dari soal status kepemilikan, pengelolaan, perhimpunan penghuni, fasilitas umum dan sosial
Penulis: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hunian vertikal memang menjadi keharusan bagi kota megapolitan seperti DKI Jakarta yang ditandai pembangunan hunian vertikal di berbagai sudut kota, baik berupa rumah susun sewa, rumah susun sederhana, sampai apartemen mewah, dan sebagainya.
Walaupun mulai sekarang, pengembangan hunian vertikal menjadi suatu keharusan, sayangnya tren tersebut tidak dibarengi dengan penataan yang baik.
“Problemnya bukan hanya soal ketersediaan lahan, lebih dari itu adalah kebijakan dan kepastian hukum setelah hunian-hunian vertikal tersebut berdiri,” ujar Trie Sulistiowarni, mantan Tenaga Ahli Menteri Negara Perumahan Rakyat di Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta yang mendaftar di Partai Kebangkitan Bangsa ini mengatakan, hampir di setiap kawasan hunian vertikal menyisakan masalah yang pelik mulai dari soal status kepemilikan, pengelolaan, perhimpunan penghuni, fasilitas umum dan fasilitas sosial, dan sebagainya.
“Kasus semacam itu bukan hanya terjadi di Kalibata City yang sempat ramai di media massa, tetapi juga di hampir semua hunian vertikal (rumah susun/aparteman). Ironisnya, dari semua kasus tersebut, penghuni cenderung menjadi pihak yang dirugikan,' katanya.
Wanita yang berprofesi sebagai PPATK ini mencontohkan soal kepemilikan misalnya, sampai sekarang masih sangat banyak hunian vertikal yang belum bisa memberi kepastian status kepemilikan kepada pemiliknya, karena sertifikat yang belum juga terbit.
Padahal mereka sudah membeli lebih dari 5 tahun,bahkan banyak diantaranya juga sudah lunas membayar harga pembeliannya.
Pengembang juga tidak memfasilitasi terbentuknya Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) dengan baik, dimana pengelolaan apartemen masih dicengkeram oleh mereka, sehingga mereka bisa seenaknya menaikkan service charge dan pembayaran listrik yang akhirnya memberatkan penghuni.
"Menghadapi masalah ini, penghuni sepertinya tidak berdaya . Ini kan ironis. Belum lagi soal fasum dan fasos yang ternyata banyak disalahgunakan oleh pengembang untuk mengambil keuntungan, dan banyak lagi masalah-masalah ikutan lainnya,” katanya.
Ia mencotohkan bagaimana seorang pemilik penghuni sebuah apartemen di Jakarta Barat harus dipenjara hanya gara-gara mencharge ponselnya di area umum di apartemen tersebut atas tuduhan mencuri listrik.
"Kondisi semacam itu tidak seharusnya terjadi bila Pemerintah Provinsi DKI menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik, dan menindak tegas apabila pengembang rumah susun yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya kepada para penghuni/pemilik aparteman. Itu semua pengawasannya kan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah," kata Trie.
Bila kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka menurut Trie, akan menimbulkan persoalan yang serius. “Mengapa? Nanti bisa-bisa orang menjadi enggan untuk membeli rumah susun/apartemen, karena banyaknya masalah yang akan dihadapinya," katanya.
Ia mengatakan, apabila Allah nanti dipercaya memimpin DKI, penataan pemukiman di Jakarta akan menjadi program utamanya.
“Apabila masyarakat dekat dengan tempat kerjanya dapat mengurangi mobilitas mereka di jalan, sehingga dapat pula mengurangi kemacetan. Tentunya dibarengi penataan dan pengadaan transportasi umum yang baik dan nyaman," katanya.
Trie mengaku telah memiliki konsep dalam penataan pembangunan hunian vertikal di DKI Jakarta. Intinya, lanjut Trie, penghuni atau pemilik jangan sampai menjadi pihak yang dirugikan.
“Yang kalah pentingnya, jangan sampai pembangunan hunian vertikal, khususnya subsidi yang diberikan oleh Pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah salah sasaran," katanya.