Putusan PTUN Dapat Memberi Sinyal Ketidakpastian Hukum
Pemerintah harus komit terhadap ketepatan waktu penghentian sementara tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di balik keputusan penghentian sementara pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta oleh pemerintah, sebenarnya juga memberi sinyal kepastian akan masa depan kelanjutan reklamasi. Demikian dikatakan Pengamat LIPI Syarif Hidayat.
"Reklamasi akan jalan terus. Presiden sudah bilang kalau proyek ini nanti akan diintegrasikan dengan NCICD," katanya di Jakarta, Minggu (29/5/2016).
Menurut pengamat perkotaan ini, dengan keputusan ini sikap Pemerintah Pusat terkait soal kewenangan Reklamasi Pantura Jakarta yang sebelumnya menjadi polemik kini terlihat lebih jelas. "Menteri Susi telah menyatakan bahwa Reklamasi Pantura Jakarta adalah kewenangan Gubernur DKI Jakarta. Artinya, cukup jelas bahwa berbagai perizinan yang telah diterbitkan Gubernur memiliki kekuatan hukum," jelasnya.
Persoalannya akan menjadi lain, tambahnya, jika putusan PTUN ternyata mengabulkan penggugat yang meminta pencabutan SK Perizinan yang diterbitkan oleh Gubernur. "Sangat mungkin, jika gugatan itu dikabulkan PTUN, akan membuat pihak swasta khususnya menjadi galau. Karena kondisinya kembali menjadi tidak pasti," ujar Syarif.
Menurutnya, jika izin yang telah diterbitkan harus dibatalkan karena keputusan PTUN, memang bisa memberikan sinyal buruk kepada kalangan swasta yang ingin berinvestasi di Indonesia. "Bayangkan, izin yang telah diterbitkan oleh pejabat setingkat gubernur pun masih bisa dibatalkan. Investor mungkin akan berpikir berkali-kali sebelum memutuskan investasinya di sini," katanya.
Sinyal Buruk Investasi di Indonesia
Sebelumnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firmandes, mengatakan, penghentian sementara pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan memberi sinyal ketidakpastian hukum di Indonesia.
Ketua Himpunan Pengusaha Swadiri Indonesia (Hipsi) ini mengatakan, bahwa keputusan penghentian sementara pelaksanaan reklamasi ini akan dilihat para investor lokal dan asing sebagai preseden buruk. "Hal ini menunjukkan ketidakpastian hukum dalam berinvestasi di Indonesia dan akan menakutkan investor asing dalam berinvestasi di Indonesia," kata Firmandes.
Apalagi, menurut Firmandes, dalam pelaksanaan reklamasi tersebut, pengembang swasta yang melaksanakan telah mengantongi berbagai perizinan yang dibutuhkan. "Kalau seperti ini, tidak ada lagi artinya perizinan yang telah diterbitkan. Sebagai produk hukum, semua izin seperti tidak berlaku" ujar Firmandes.
Kewajiban Pengembang
Menurut Firmandes, untuk mendapatkan hak melaksanakan reklamasi, oleh Pemerintah Provinsi DKI (Pemprov) pengembang dibebani kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, baik sebelum, pada saat proses pembangunan ataupun pasca reklamasi pantura terwujud. "Pemprov DKI sangat ketat menerbitkan izin. Sebelum bisa melaksanakan, pengembang harus menunaikan kontribusi wajib, seperti membangun rusun, perbaikan waduk dan pembangunan fasilitas umum lainnya," jelas Firmandes.
Firmandes menambahkan, hingga tahap pelaksanaan pengembang swasta pasti sudah mengeluarkan dana ratusan miliar rupiah untuk memperoleh izin dari pemerintah. "Bagi swasta, keputusan penghentian sementara ini jelas merugikan. Baik waktu, tenaga, maupun biaya," ujar Firmandes.
Menurut Firmandes, pemerintah harus komit terhadap ketepatan waktu penghentian sementara tersebut. "Jangan sampai waktu penghentian sementara molor lebih dari yang dijadwalkan selama 6 bulan. Ini tentunya termasuk waktu 120 hari yang diberikan kepada pengembang memberikan laporan yang diwajibkan dalam SK KLHK," katanya.
Menurutnya, penghentian sementara ini pasti tidak diperhitungkan atau diantisipasi di awal perencanaan. "Konsekuensinya, beban biaya yang harus ditanggung pengembang pasti jadi membengkak karena keputusan ini. Bayangkan berapa banyak waktu dan dana yang terbuang karena penundaan ini," jelasnya.