YLKI: Jangan Hanya Pelakunya Tapi Pemerintah Juga Harus Diberi Sanksi
Sejauh ini, sudah sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan kasus terkuaknya vaksin palsu tidak bisa dianggap main-main.
Apalagi bila bicara dampak dari vaksin palsu bisa berjangka panjang dan fatal.
Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, tidak cukup hanya pelakunya yang diberikan sanksi pidana.
Namun pemerintah sebagai regulator juga harus bertanggungjawab dan dikenai sanksi.
"Mengingat begitu lamanya praktik pemalsuan (13 tahun) dan sudah beredar ke seluruh Indonesia, Kemenkes dan Badan POM bisa dikatakan tidak menjalankan fungsinya, sesuai kapasitas yang dimilikinya!" demikian Tulus tegaskan kepada Tribun, Senin (27/6/2016).
Apalagi penggunaan vaksin tidak bisa langsung oleh masyarakat, tetapi melalui institusi dan tenaga kesehatan.
Jadi jelas, katanya, institusi kesehatan mutlak untuk dimintai pertanggungjawaban karena telah memberikan vaksin palsu pada pasiennya.
"Ini juga menunjukkan adanya pengadaan barang dan jasa yang tidak beres, tidak melalui proses tender yang benar, dan berpotensi adanya tindakan koruptif oleh pejabat pembuat komitmen di Kemenkes," katanya.
Upaya pengungkapan kasus vaksin palsu ini berawal dari temuan penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tiga wilayah, yaitu Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, keberadaan vaksin palsu itu diketahui sudah mulai beredar sejak 2003 silam.
Saat ini, pihak aparat masih menggali informasi lebih jauh terhadap pelaku yang telah ditangkap.
"Vaksin itu sebenarnya sejak 2003 sudah ada yang ditangkap, sekarang sedang didata," kata dia.
Dalam penggeledahan beberapa waktu lalu, penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin anti-snake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.
Sejauh ini, sudah sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka dijerat Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Nila mengaku, belum mengetahui daerah mana saja yang menjadi daerah penyebaran vaksin palsu tersebut.
"Saya belum tahu, tapi sedang di data. Tapi coba tanya ke Bareskrim saja," kata dia.