Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta Dinilai Tidak Logis
Dalam draf Raperda KTR diatur sanksi bagi perokok aktif berupa pembatasan pelayanan administrasi kependudukan serta kesehatan.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) mendapatkan penolakan dari beberapa elemen, semisal dari masyarakat anti rokok, produsen rokok, hingga elemen lainnya.
Pengamat Kebijakan Publik dan Pakar Tata Negara, Margarito Kamis, mengatakan, bahwa raperda KTR sudah seharusnya memuat berbagai aspek kepentingan seluruh elemen
"Raperda yang disusun memang harus melihat kepentingan dari segi kesehatan pengguna atau yang terimbas. Tapi selain itu, juga harus melihat industri rokoknya," kata Margarito.
Hal itu diucapkannnya saat acara Diskusi dan Buka Puasa Bersama, "Efektifitas Rencana Penerapan Perda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta" di Bakoel Koffie, Jalan Raya Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/6/2016).
Dalam draf Raperda KTR diatur sanksi bagi perokok aktif berupa pembatasan pelayanan administrasi kependudukan serta kesehatan.
Klausul tercantum pada pasal 41 ayat 2, atau tentang sanksi bagi perokok yakni pembatasan pelayanan administrasi kependudukan dan kesehatan.
"(Raperda KTR) ini pesanan siapa sebenarnya? Saya menilai tidak logis, mengada-ada, dan banyak yang kurang siap untuk membuat aturan ini," ucap Margarito.
Secara tidak langsung bila nantinya Raperda KTR ditetapkan, maka akan mengurangi produksi rokok itu sendiri.
Artinya, petani tembakau pun akan terancam.
"Secara teknis perda itu juga perlu dilihat secara mendalam. Bagaimana perda ini bisa menyediakan ruang-ruang (merokok) yang pasti. Bukan hanya sekedar menerbitkan perda," tutup Margarito.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.