Dering Ponsel Penentu Jumlah yang Ditembak hingga Kisah Tangisan 'Menular' Terpidana Mati
“Setiap ada satu (terpidana mati) yang menangis, maka suara tangis itu akan merembet ke sel-sel lain, semacam nular....."
Editor: Robertus Rimawan
Laporan Wartawan Tribunnews, A Prianggoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekitar pukul 00.00, handphone milik seorang pejabat kejaksaan berbunyi dan sempat menyita perhatian sejumlah orang yang berada di lokasi kejadian.
“Tentu saja kaget karena orang-orang yang hadir di sekitar lokasi penembakan tidak ada yang boleh membawa handphone."
"Saya mengira telepon itulah yang memberi kabar bahwa pelaksanaan eksekusi hanya pada empat terpidana mati saja, tidak jadi empatbelas terpidana,” ungkap seorang sumber.
Lalu pada ruang isolasi sering terdengar suara tangisan dari sejumlah terpidana mati, sejak mereka menempati ruangan itu pada Senin (27/7/2016) hingga Kamis (28/7/2016) malam.
“Setiap ada satu yang menangis, maka suara tangis itu akan merembet ke sel-sel lain. Semacam nular (menular- RED) menangisnya, bunyinya sahut-sahutan seperti sirene,” ujar sumber.
Itulah beberapa kisah detik-detik terakhir eksekusi jilid 3 para terpidana mati di Pulau Nusakambangan yang menyisakan banyak cerita.
Penelurusan kisah-kisah ini dihimpun Tribunnews.com dari berbagai sumber saat berada di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Sebelum pelaksanaan eksekusi mati, Jumat (29/07/2016) dini hari, 14 terpidana mati sempat menghuni ruang isolasi di Lapas Batu, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Mereka ‘diambil’ dari berbagai lapas tersebar lalu dikumpulkan di ruang isolasi mulai Senin (25/7/2016) malam.
“Penjagaannya sangat ketat, ada 150 sipir dan 350 Brimob menjaga ruang isolasi sejak mereka tiba hingga pelaksanaan eksekusi."
"Bahkan ada pula snipper (penembak jitu, RED) di setiap sudut ruang isolasi,” kata seorang sumber kepada Tribunnews, Sabtu (30/7/2016).
Sumber lain menceritakan, 150 sipir yang berjaga di ruang isolasi itu merupakan tim khusus yang dibentuk dari satuan pengamanan lapas-lapas di Nusakambangan dan Cilacap.
Mereka memiliki tanda pengenal khusus dan disebut Satgas Pamsus atau kependekan dari Satuan Petugas Pengamanan Khusus.
Selama berada di ruang isolasi, terpidana mati memakai baju tahanan yang berbeda dibandingkan dengan terpidana lain.
Mereka memakai baju warna hitam legam yang pada bagian dadanya terdapat tiga lambing instansi, yaitu Kemenkumham, Kejaksaan, dan Kepolisian.
“Sedangkan kalau tahanan lain baju tahanan warna biru dan logo yang terdapat pada baju tahanan hanya Kemenkumham saja,” ujar sumber itu.
Empatbelas terpidana mati itu menempati masing-masing satu ruangan terpisah.
Pada ruangan tersebut hanya terdapat kasur, bantal, dan sebuah gayung.
Barang-barang lain, misalnya sajadah, handuk, serta perlengkapan lainnya hanya ada saat masing-masing terpidana mati membutuhkannya. Mereka dijaga selama 24 jam.
Meski demikian, para sipir yang menjaga mereka dilarang berbicara kepada terpidana mati.
Tidak boleh ada kegiatan apa pun yang dilakukan oleh terpidana mati, kecuali beribadah dan mandi serta buang air besar/kecil.
“Mereka (terpidana mati, RED) saat makan ditunggui sampai selesai kemudian peralatan makan itu segera dikeluarkan (dari sel). Bahkan mereka mandi pun ditunggui oleh sipir. Ini untuk alasan keamanan dengan pertimbangan supaya mereka tidak melakukan perbuatan melukai diri sendiri atau bunuh diri,” ujar sumber tersebut.
Menurut sumber lain, pada ruang isolasi sering terdengar suara tangisan dari sejumlah terpidana mati, sejak mereka menempati ruangan itu pada Senin (27/7/2016) hingga Kamis (28/7/2016) malam.
“Setiap ada satu yang menangis, maka suara tangis itu akan merembet ke sel-sel lain. Semacam nular (menular- RED) menangisnya, bunyinya sahut-sahutan seperti sirene,” ungkapnya.
Para penjaga pun tak bisa berbuat banyak karena mereka dilarang berkomunikasi dengan terpidana mati.
Tak jarang tangisan itu terdengar selama berjam-jam, sementara penjaga hanya boleh bisa melihat saja.
Dia mengungkapkan, terpidana mati Freddy Budiman tergolong satu terpidana yang cukup tegar dibandingkan lainnya.
Selama di dalam ruang isolasi, Freddy lebih banyak berdoa dan berzikir.
Sementara saat berdoa dan berzikir, petugas jaga pun mendampingi Freddy karena sesuai prosedur tetap (protap) penjagaan khusus terhadap terpidana mati.
“Freddy beberapakali salat Azar kemudian zikir hingga magrib. Penjaga pun menungguinya sampai ibadah itu rampung,” ujarnya.
Harus Dipenuhi
Sumber lain menceritakan bila segala permintaan terpidana mati telah diusahakan dipenuhi oleh pihak otoritas penjara atau ruang isolasi.
Misalnya minta makanan tertentu, maka pihak kemenkumham akan menyediakannya.
“Jelang eksekusi, beberapa terpidana mati asal Nigeria meminta makanan khas Afrika, Fufu. Permintaan mereka pun dipenuhi,” ungkap sumber itu.
Permintaan yang cukup unik saat berada di ruang isolasi datang dari terpidana Michael Titus Igweh.
Kepada para petugas jaga, Titus mengungkapkan keinginannya berhubungan seks dengan sang istri.
“Dia bilang ingin ‘ciki-ciki’, itu adalah istilah yang biasa dipakai terpidana Nigeria saat di dalam penjara jika ingin berhubungan seks. Permintaannya itu telah diteruskan kepada pihak otoritas penjara setempat, namun kabarnya pihak otoritas tidak berhasil menghubungi sang istri sehingga permintaan tersebut akhirnya tak dapat terpenuhi,” ujar seorang sumber.
Kamis (28/07/2016) sekitar pukul 23.15, empatbelas terpidana mati dibawa ke luar dari ruang isolasi menuju ke Pos Polisi Nusakambangan.
Satu terpidana mati naik di satu mobil. Saat berjalan dari ruang isolasi, terpidana mati terlihat dipapah aparat yang membantu mereka untuk berjalan.
“Membawa terpidananya agak digotong karena mereka dalam kondisi terborgol pada bagian kaki, leher, dan pinggangnya. Tangannya diborgol ke belakang, tidak ke depan. Satu terpidana mati dijaga oleh sekitar 30 aparat, jadi kalau dilihat dari terpidananya tertutupi oleh puluhan aparat,” katanya.
Saat itu, sumber Tribunnews mengaku berada di sekitar area lapangan yang menjadi tempat eksekusi mati.
Sekitar pukul 00.00, handphone milik seorang pejabat kejaksaan berbunyi dan sempat menyita perhatian sejumlah orang yang berada di lokasi kejadian.
“Tentu saja kaget karena orang-orang yang hadir di sekitar lokasi penembakan tidak ada yang boleh membawa handphone. Saya mengira telepon itulah yang memberi kabar bahwa pelaksanaan eksekusi hanya pada empat terpidana mati saja, tidak jadi empatbelas terpidana,” ungkapnya.
Sebelum regu tembak mencabut nyawa empat terpidana mati, listrik di wilayah sempat padam dua kali.
“Memang prosedur saat eksekusi mati itu listriknya harus dipadamkan. Saat listrik padam, regu tembak mengeksekusi para terpidana mati secara bersamaan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Lapas (Kadivpas) Kemenkum Jawa Tengah, Molyanto, Sabtu (30/07/2016) siang, menyatakan bila 10 terpidana mati yang semula berada di ruang isolasi kini sudah dikembalikan ke lapas-lapas tempat mereka sebelumnya.
“Sudah dikembalikan,” kata Molyanto singkat seraya menambahkan dirinya sedang ada keperluan.(*)