Bila Begini Jadinya Mimpi Presiden Jokowi Tak Akan Terwujud
Apakah itu kelalaian, kesalahan, kecerobohan atau juga kesengajaan oleh pihak lain, namun kasus tersebut menjelaskan bahwa Indonesia harus berbenah.
Editor: Robertus Rimawan
Upaya menghadapi segala tantangan dan ancaman itu sebenarnya sederhana, yaitu memperkuat Persatuan dan Kesatuan serta menumbuhkembangkan karakter bangsa sebagai Identitas nasional yang kuat.
Fenomena anak reformasi
Dalam proses sejarah perkembangan Indonesia modern, telah dipilih Politik Kebangsaan sebagai pilihan atas multikulturalisme yang ada di bumi Nusantara.
Semangat dan jiwa yang satu ini jelas terlihat dalam sidang BPUPKI dan PPKI yang kemudian di munculkan dalam Santiaji Republik Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Situasi dunia yang makin kompetitif dan perang generasi ke empat yang pada saat ini dihadapi oleh Indonesia, khususnya upaya pelemahan aspek Idiologi, dan budaya bangsa, maka ISKA meminta pemerintah untuk memberi perhatian khusus kepada ANAK REFORMASI, yakni mereka yang dilahirkan saat Orde Reformasi muncul.
“Bagi ISKA, tidak ada pilihan bahwa bangsa Indonesia harus memberi perhatian khusus kepada generasi ini."
"Karena generasi baru ini yang saat ini duduk di bangku kuliah adalah Anak Reformasi yang lahir dan tumbuh di tengah gundah gulananya Indonesia sebagai negara dan bangsa,” tegas Muliawan.
Anak Reformasi relatif bertumbuh tanpa keteladanan dan diwarnai dengan kasus kekerasan, korupsi, pemimpin bangsa yang hanya mementingkan diri sendiri, politik uang dll.
Mereka adalah generasi tanpa persahabatan karena ditemani oleh gadget yang merupakan hasil revolusi teknologi informasi dan komunikasi.
Mereka lebih merasa menjadi seseorang bersama teman-teman mayanya dan acuh tak acuh pada lingkungan sekitar dan sosial.
Perubahan perilaku ini tentu akan menetap menjadi karakter generasi muda ke depan.
ISKA melihat dalam waktu 15 tahun lagi, ketika generasi ini memegang posisi pengambil keputusan di berbagai bidang , maka Indonesia akan memiliki pemimpin bangsa yang tidak membumi, tidak pernah ada ikatan emosional kebangsaan karena cara melihat generasi tersebut adalah maya. Jiwa patriotisme , rasa cinta tanah air, budaya toleransi , dan nasionalisme sangat kurang dibandingkan dengan generasi yang tumbuh sebelum Orde Reformasi.
Kunci kemenangan persaingan global bukan di Sumber Daya Alam namun justru di Sumber daya manusia dengan karakter kebangsaan nya yang kuat.
Muliawan menambahkan, yang perlu dilihat adalah pola pikir Anak Reformasi ini. Anak Reformasi, ditambahkan Muliawan, melihat negara sebagai daratan maya yang tak berbatas (borderless land), yang dapat dikontrol dengan gadget (perangkat komunikasi) dengan warganegara beruwujud tapi tak terbentuk.
Mereka bisa saling berkomunikasi tetapi tidak pernah berjumpa, bisa mendapatkan bisnis dengan mudah tetapi semuanya dikuasai oleh untouchable institution (institusi tak tersentuh).
“Jika ditarik benang merahnya, permakluman akan kasus double kewarganegaraan sebagai sesuatu yang tidak serius akan memberi dampak pada penggunaan kacamata yang sama dalam melihat generasi Reformasi."
"Jika yang terjadi demikian, maka mimpi Joko Widodo akan terwujud namun negara Indonesia bukanlah milik bangsa Indonesia,” ujar Muliawan. (*)