Fadli Zon: Ironi, Binatang Saja Kita Lindungi, Ini Manusia Digusur Tidak Dilindungi
Dia mendukung agar warga korban penggusuran berjuang untuk mendapatkan haknya.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon prihatin atas peristiwa yang dialami masyarakat DKI Jakarta terkait penggusuran di beberapa tempat di Ibu Kota.
Dia mendukung agar warga korban penggusuran berjuang untuk mendapatkan haknya.
"Saya sangat prihatin atas apa yang terjadi pada bapak-bapak dan ibu-ibu. Bapak-bapak dan ibu-ibu memiliki posisi yang valid, dan harus berjuang karena itu hak ibu dan bapak sekalian," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menuturkan, penggusuran di Jakarta yang dilakukan pemerintah provinsi DKI bukan malah menghilangkan kemiskinan tetapi justru menciptakan kemiskinan baru.
Menurutnya, penggusuran yang semena-mena oleh Pemprov DKI tentu bertentangan dengan konstitusi kita.
"Yang ironi, binatang saja kita lindungi, tapi ini manusia (korban penggusuran) tidak dilindungi," tuturnya.
Atas pengaduan warga Jakarta korban penggusuran, Fadli pun berencana mendatangi Rusun kawasan Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur tempat relokasi korban penggusuran DKI.
"Saya akan mendatangi tempat bapak dan ibu yang jadi korban penggusuran. Besok saya akan kesana," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, aktivis Ratna Sarumpaet bersama warga Jakarta korban penggusuran di Ibu Kota mendatangi Gedung DPR, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Kedatangan Ratna ke Kompleks Parlemen untuk melakukan audiensi dengan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon.
Audiensi antara Fadli dengan Ratna dan korban penggusuran di Jakarta berangsung di ruang rapat pimpinan DPR lantai 3, Gedung Nusantara III.
Korban penggusuran di Jakarta itu antara lain berasa dari Kampung Aquarium, Rawa Jati dan Kampung Pulo.
Dalam kesempatan tersebut, Ratna mengatakan, penggusuran yang terjadi di Jakarta bukan sebuah hal yang baru.
Menurutnya, pemerintahan sebelum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melakukan penggusuran dengan cara manusiawi dan tidak gaduh seperti saat ini.
"Di era Sutiyoso ada juga relokasi, tapi tidak gaduh seperti sekarang. Berlokasi di Cengkareng, ruun era Bang Yos yang diberi nama Rusum Cinta Kasih Budha Tze Chi, diresmikan Presiden. Presiden dan Gubernur era itu punya cara mengatasi keliaran konglomerasi macam Podomoro," kata Ratna.
Ratna menjelaskan relokasi Kali Angke dilakukan akibat banjir bandang 2001-2002, sementara alasan relokasi era Ahok umumnya untuk membuat taman dan akses jalan, demi menaikkan harga tanah dan menaikkan harga apartemen sekitar.
"Kampung Aquarium tidak pernah banjir. Tapi tetap digusur Ahok. Rawajati yang tidak ada urusan dengan bantaran sungai, juga digusur konon demi pelebaran parkir Kalibata City atau demi pengusaha," tuturnya.
Masih kata Ratna, sudah terlalu banyak tumbal yang disajikan warga Ibukota di altar Jakarta demi kebohongan, kebodohan dan kesombongan yang terus ditebar dengan jumawa oleh Gubernur Ahok. Harta, derita, air mata, bahkan nyawa telah dipersembahkan rakyat dalam kehinaannya di hadapan kekuasaan yang arogan.
"Tanpa melalui proses mediasi/dialog/negosiasi dengan warga seperti diatur dalam Undang-undang dan konstitusi, alat-alat kekuasaan itu menghentak keriaan anak-anak Kampung Akuarium, membunuh seketika harapan dan mimpi-mimpi mereka, sekaligus mengubur sejarah dan budaya mereka," imbuhnya.
"Dengan pola yang sama, Ahok menggasak kampung-kampung warga Jakarta di mana-mana," tandasnya.