Otopsi Diyakini Bisa Redam Keraguan pada Kasus Mirna
Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 bisa menjadi panduan dalam penyelidikan.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Otopsi menyeluruh pada jenazah Wayan Mirna Salihin diyakini bisa memberikan hasil penyelidikan yang lebih kuat sekaligus meredam keraguan sebagian kalangan.
Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 bisa menjadi panduan dalam penyelidikan.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Ade Firmansyah Sugiharto, Jumat (27/10), masih meragukan racun sianida sebagai penyebab kematian Mirna.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Prof Romli Atmasasmita, yang dihubungi secara terpisah, menambahkan, prosedur otopsi dalam kasus ini tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No 9/ 2010.
Karena itu, Romi menyangsikan hasil visum et repertum Mirna. Menurut dia, penyebab kematian Mirna masih gelap.
Dalam sidang, hakim Partahi Tulus Hutapea mengatakan, majelis hakim sepakat, otopsi perlu, tetapi "sepanjang tidak ditemukan bukti kematian korban".
Majelis hakim juga berpendapat, perkap tidak sejajar dengan KUHP.
Perkap dibuat Kapolri untuk keperluan internal institusional Kapolri, sedangkan KUHP dibuat oleh DPR. Karena itu, perkap bisa dikesampingkan.
Luar-dalam
Dalam surat elektronik kepada Kompas, Ade mengatakan, pada penanganan kematian yang diduga akibat racun, fokus pemeriksaan forensik adalah mencari jalur masuk (port d'entree) racun, menemukan sisa zat racun, dan atau metabolitnya pada tubuh, serta cairan tubuh, dan kelainan-kelainan yang diakibatkan oleh zat racun itu.
Pada kasus kematian Mirna di mana racun sianida merupakan zat racun yang ditemukan di dalam vietnamese iced coffee (VIC) yang diminum oleh mendiang, dokter spesialis forensik harus memeriksa jenazah luar dan dalam untuk mencari tanda-tanda itu.
Pada kasus ini, sianida diduga masuk melalui mulut, ke lambung, diserap lewat usus, kemudian dimetabolisme di hati menjadi thiocyanate dan cyanide.
Kedua zat tersebut akan didistribusikan melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan oksigenasi jaringan.
Pada kondisi ini, apabila dilakukan otopsi, diharapkan ditemukan adanya korosi pada saluran cerna yang dilalui oleh zat sianida ini.
Korosi karena zat sianida berbeda dengan korosi akibat zat asam.
Hal ini disebabkan garam sianida bersifat basa kuat sehingga korosi yang tampak pada dinding saluran cerna akan berupa reaksi penyabunan sehingga dinding saluran cerna akan teraba licin dan tampak bintik-bintik perdarahan.
Hal ini memerlukan konfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi dari jaringan dinding saluran cerna.
Tidak dilakukannya otopsi menyebabkan tidak dapat diambilnya sampel jaringan dari organ-organ dalam seperti jantung, otak, dan lainnya.
Untuk membuktikan Mirna meninggal karena sianida, diperlukan juga pengambilan sampel cairan lambung, cairan usus halus, darah, dan urine.
Namun, dengan kondisi jenazah sudah diawetkan, sampel-sampel tersebut sudah tidak dapat diandalkan lagi karena sampel toksikologi sudah tercemar oleh cairan pengawet jenazah.
Apalagi, jenazah Mirna diawetkan dengan memompa cairan pengawetan melalui pembuluh darah hingga menyebar ke seluruh tubuh.
Sebagian cairan pengawetan juga akan mengakibatkan cairan dari saluran cerna tidak dapat diandalkan untuk diperiksa ada tidaknya racun apa pun.
Hal ini juga berlaku pada organ tubuh lain seperti hati dan empedu.
Satu-satunya sampel yang masih bisa diandalkan adalah sampel dari isi lambung yang diambil dokter di RS Abdi Waluyo, sekitar 70 menit pasca almarhumah meminum VIC.
Namun, dengan jumlah sampel isi lambung yang sangat sedikit, hasil negatif juga belum tentu menunjukkan sampel tak mengandung sianida.
Ade mengatakan, keakuratan pemeriksaan terhadap barang bukti biologis seperti tubuh jenazah sangat dipengaruhi waktu.
Seluruh jaringan tubuh yang mengalami pembusukan akan menghasilkan materi-materi hasil autolisis jaringan yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan.
"Dengan tidak dilakukannya otopsi forensik dan pemeriksaan darah dan urine serta histopatologi jaringan tubuh, secara umum dari sudut pandang kedokteran forensik, penyebab pasti kematian Mirna akan tetap menjadi misteri," tulis Ade.
Langgar perkap
Romli menyesalkan sikap majelis hakim yang mengesampingkan Perkap No 9/2010.
Padahal, jika prosedur ini ditaati, hasil visum et repertum akan jauh lebih memuaskan dan mengandung kepastian hukum lebih kuat.
"Visum et repertum itu adalah satu dari lima macam bukti seperti diatur KUHP. Visum adalah bukti berupa surat. Dasar visum adalah perkap. Perkap disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI," tutur Romli. (WIN)
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul "Otopsi Bisa Redam Keraguan".(Egidius Patnistik)