"Kalau Aku Bebas, Aku Mau Bikin Akun Instagram Ya”
Sidang kasus Jessica Kumala Wongso menyita perhatian publik. Tidak hanya di dalam negeri, siding kasus ini diikuti media luar negeri.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang kasus Jessica Kumala Wongso menyita perhatian publik. Tidak hanya di dalam negeri, siding kasus ini diikuti media luar negeri. Sejumlah televisi swasta nasional menyiarkan langsung sidang, termasuk Kompas TV.
Wartawan Kompas TV Fristian Griec yang telah meliput 32 kali jalannya persidangan memiliki sejumlah kisah menarik di balik persidangan yang tak banyak diketahui publik.
Bagian I, Baca: Sidang Jessica Berlangsung, Pendukung Sibuk Berbagi Info Melalui Grup Whatsapp
Berikut kisah lanjutannya :
Tanggal 27 September 2016, akhirnya kesempatan itu tiba. Saya diizinkan bersama para penasehat hukum Jessica; Otto Hasibuan, Surdame Purba, Hidayat Bostam, dan Elisabeth Batubara mengunjungi Jessica di rutan pondok bambu.
Kami diizinkan menempati ruang konsultasi hukum. Itu adalah kali pertama saya melihat, mendengar, berada dekat dengan Jessica Kumala Wongso – terdakwa tunggal pembunuhan berencana atas sahabatnya sendiri – dengan (telah) banyak pemberitaan tentangnya selama ini.
Saya berusaha keras lepas dari “persepsi” saya sendiri ketika itu. “Fristian, ayo ... geser. Kenapa duduknya jauh-jauh?”, ucapan Otto Hasibuan seperti menghentak saya ditengah kekikukan karena harusnya pertemuan tersebut hanya antara Jess dan para kuasa hukumnya. Saya pun menggeser posisi duduk. Kami berkumpul di satu meja dan ya, untuk pertama kalinya saya berkesempatan mendengarkan kronologi kejadian langsung dari Jessica sendiri.
3 jam pertemuan ketika itu, dari sekitar pukul 13:00 – 16:00 wib. Waktu yang cukup lama untuk memperhatikan sosok Jessica. Apa yang diceritakan Jess kepada kami di rutan, lebih kurang itu pulalah yang disampaikannya di muka persidangan ke-26 keesokan harinya dengan agenda pemeriksaan Jessica sebagai terdakwa.
Jessica tampak lebih emosional dengan dicecar berbagai pertanyaan yang begitu personal dengan gaya mendesak bahkan terkadang keras dari para Jaksa Penuntut Umum. Usai Ia diperiksa selama sekitar 12 jam pada hari itu, jelang dini hari saya pun menemuinya di basemen Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Saya pun memanfaatkan waktu yang sangat singkat saat Jess keluar dari pintu ruang tahanan menuju bus tahanan yang akan membawanya kembali ke rutan Pondok Bambu atau biasanya dalam beberapa kesempatan berbincang Jess menyebutnya “PB” – jadi terdengar lebih “keren” dari sekadar rumah tahanan, hehe.
“Tadi kelihatan emosional sekali?”, tanya saya ke Jess. Ia pun menjawab singkat sambil menuju bus, “ya, tadi saya ditanyai hal-hal yang emosional jadi ya saya emosional”. Tak banyak pertanyaan yang bisa saya ajukan dengan kesempatan yang begitu singkat.
Selanjutnya, kesempatan untuk mewawancarainya dengan sorotan kamera menjadi semakin sulit. Ternyata, semakin banyak anggota grup #savejessica dan juming-juming yang tahu kalau Jess biasanya dibawa keluar ruang tahanan pengadilan negeri Jakarta Pusat menuju bus dan kesempatan itu bisa dimanfaatkan untuk berfoto bersama dengan Jess.
Karena di basemen semakin ramai, maka bus tahanan yang membawa Jess dari dan kembali ke rutan pondok bambu posisinya dirapatkan dengan pintu keluar ruang tahanan.
Ditambah barikade dari sejumlah petugas kepolisian, Jess semakin sulit untuk diwawancarainya.
Sosok Jessica di satu sisi memang telah “dipersepsikan” bersalah namun di sisi lain tak sedikit pula yang benar-benar bersimpati terhadapnya.