Ketika Mau Digusur, Warga Kampung Ini Tak Kehabisan Akal Agar Tetap Bertahan
Kampung Tongkol salah satu kampung yang berada di pinggir Sungai Ciliwung, tak seperti kampung lainnya.
TRIBUNNEWS.COM – Sejak tahun lalu, pemerintah Provinsi DKI Jakarta giat menggarap program normalisasi Sungai Ciliwung melalui pembersihan pemukiman di sekitarnya.
Hingga saat ini, sudah ribuan rumah di bantaran sungai rata dengan tanah, menyusul tiga kampung di Pademangan, Jakarta Utara. Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
Kampung Tongkol salah satu kampung yang berada di pinggir Sungai Ciliwung, tak seperti kampung lainnya.
Di kampung ini tanaman hijau berada dimana-mana. Sampah pun tak dibuang atau dibiarkan nyangkut di kali.
Kebanyakan rumah warga terdiri dari rumah berlantai dua, bahkan beberapa diantaranya memiliki rumah berlantai tiga.
Ukuran rumah mereka lima kali lima meter. Itu terjadi karena, sejak November tahun lalu, warga di tiga kampung tersebut memangkas lima meter lahannya demi merapikan bantaran sungai. Sehingga, terdapat jarang lima meter dari bibir sungai dengan rumah warga.
“Deal akhirnya, dibuang. Setelah sudah selesai, ternyata tanpa diduga membuat warga yang lainnya menjadi berani. Karena ini dibangun pada posisi (dekat bantaran kali) sebagian besar orang putus asa. Setelah selesai, malah banyak yang bangun (memangkas bangunannya hingga lima meter). Bahkan ada yang dibangun total, pakai duit sendiri, karena melihat ada yang membangun. Walaupun tidak pakai aturan, ketentuan,” kata Gugun, salah satu warga Kampung Tongkol.
Mulanya, kata Gugun, warga ragu. Bahkan saat itu, hanya ada lima rumah yang bersedia dipangkas. Tapi belakangan, satu persatu mulai mengikuti.
Hanya saja, selang dua bulan, setelah proses pemotongan rumah rampung, Pemprov DKI Jakarta melayangkan surat yang menyatakan akan adanya normalisasi Sungai Cililwung.
Dampaknya sudah bisa ditebak, kampung itu harus segera dikosongkan. Mendengar hal itu, warga kian was-was, karena takut akan digusur.
“Warga waktu itu secara psikologis jadi drop. Karena baru motong, tiba-tiba muncul surat. Kenapa engga ngomong dari awal aja, maunya 15 meter. Di situasi itu, lalu muncull secara tidak sengaja, ide dari beberapa kawan tetap ingin melakukan penataan, tetap diusulkan meski pemerintah minta 15 meter,” ujar Gugun.
Dari situ, warga bernego dengan Pemrov DKI Jakarta. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan soal nasib kampung itu, entah batal digusur atau tetap diratakan.
“Ya berat, karena ruangan menjadi tambah sempit, kecil. Tetapi waktu itu yang kita bahas, kenapa lalu diputuskan mau memotong, Karen dulu tahun 90-an pernah dibebaskan pemerintah, dan dibayar. Itu yang akhirnya kemudian kita secara sukarela memotong, dengan kesadaran tanah ini milik Pemda, tidak kita tutup-tutupi, yang lima meter,” ungkap Gugun.
Warga Kampung Tongkol memang tak membantah, bahwa pada 1990, lahan di kampung itu sudah dibebaskan oleh Pemprov DKI untuk dibangun jalan.
Namun, luas tanah yang dibebaskan hanya selebar lima meter, bukan 15 meter, seperti yang diminta melalui surat edaran.
Pasca memangkas rumah, warga Kampung Tongkol, Lodan dan Krapu, tak bisa langsung menempati lantaran ketiadaan biaya.
Hingga kemudian pada November 2015, LSM Urban Poor Consortium (UPC) menghibahkan dana sebesar Rp 160 juta untuk membangun lima unit rumah contoh.
Rumah contoh itu dibangun tiga lantai, menyiasati lahan yang kian sempit. Pasalnya, setelah dipangkas, lebar rumah tersisa lima meter.
Warga Kampung Tongkol, ungkap Gugun, akhirnya mengikuti rumah contoh itu alias berumah vertikal.
Dari situlah, hidup warga berubah. Material rumah dipilih yang ramah lingkungan semisal bambu dengan beton bertulang, bata ringan sebagai dinding.
Rumah Gugun sendiri menempel dengan tiga rumah lainnya, yang sama-sama dibangun dengan tiga lantai.
Rumah bermaterial bambu itu terlihat meriah karena dicat warna-warni, dengan dominan merah.
Walau memiliki ukuran mungil, ternyata rumah itu bisa dihuni tujuh keluarga, yang terdiri dari 21 orang.
Begitu renovasi rumah rampung, warga lantas mencari cara dalam mengelola sampah agar tak mengotori sungai.
Soal penyuluhan sampah, pendamping dari Universitas Indonesia, Amara mengatakan, produksi sampah warga di tiga kampung ini perlahan berkurang.
Kata dia, warga sudah mulai mengurangi sampah dengan hal-hal sederhana seperti menggunakan kantong kain untuk berbelanja, serta memasak dalam partai kecil agar tak ada sisa yang terbuang.
Berbarengan dengan program pengurangan sampah itu, warga juga mulai belajar membuat pupuk kompos.
“Sebagai kampung pinggir sungai, mereka sudah mencoba untuk membenahi diri, untuk menghilangkan stigma, bahwa pemukiman pinggir kali itu yang membuang sampah ke sungai. Nah, sekarang keinginan mereka untuk membersihkan kampungnya ini, dinaikkan satu kali lagi. Setelah membuang sampah di tempatnya, sekarang bagaimana caranya tidak menghasilkan sampah,” ujar Amira.
Mencoba mengubah kebiasaan dan berusaha bersahabat dengan sungai, warga pun optimis tak akan digusur Pemprov Jakarta.
“Kita sih tetap berusah optimis, walaupun kita nanti engga tau hasilnya. Tetapi paling tidak, saat kita melakukan sesuatu, peluang itu selalu ada, daripada tidak melakukan sesuatu, dan model respon kita hanya tolak, tolak, tolak. Jadi engga ada alternatif, Nah yang coba kita dorong, kalau mengangap rencana pemerintah itu buruk, yang bagus itu seperti apa. Itu yang kita usulkan,” ujar Gugun.
Ketua Ciliwung Institute, Sudirman Asum mengatakan, persoalan banjir tak hanya dengan menggusur warga dari tepian sungai.
Menurutnya, pemerintah bisa berkolaborasi dengan warga untuk menata kampung. Sebab, warga bisa menjadi penjaga sungai.
“Mari kembali ke budaya sungai. Manusia dan sungai itu berdampingan satu sama lain. Artinya, kalau kembali itu, kita pernah bersahabat dan akrab dengan sungai. Itu sebenarnya nilai-nilai yang bergeser. Nah, sekarang warga secara swakarsa menara kampung pinggir sungai menjadi river defender. Kampung yang menjaga sungai, karena pemerintah tidak mampu jaga sungai. Yang masuk akal warga. Jadi ini yang akan menjadi simbiosis mutualis, karena ketika masyarakat menganggap sungai menjadi bagian dari mereka, maka mereka akan manjaga,” kata Sudirman.
Hingga saat ini, Pemprov DKI setidaknya sudang menggusur lima kawasan untuk menormalisasi Sungai Ciliwung.
Kawasan yang digusur itu meliputi Pasar Ikan, Jakarta Utara; Kampung Pulo, Jakarta Timur; Bidaracina, Jakarta Timur; Bukit Duri, Jakarta Selatan; serta Pinangsia, Jakarta Barat.
Sementara penggusuran Kampung Tongkol, kata Gubernur non-aktif Tjahaja Purnama alias Ahok pada April lalu, tinggal menunggu rumah susun yang masih tersedia.
Penulis: Dian Kurniati/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)