Berkaca Kasus Kapal Zahro Express Pengelolaan Pelabuhan Harus Dibenahi
Kasus terbakarnya Kapal Zahro Express menjadi pembelajaran tersendiri untuk pengelolaan pelabuhan di Indonesia.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kasus terbakarnya Kapal Zahro Express menjadi pembelajaran tersendiri untuk pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Pengawasan relugasi dan Sumber Daya Manusia harus ditingkatkan.
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno menilai Kementerian Perhubungan sudah membuat banyak aturan untuk transportasi laut dan udara.
"Sekarang tinggal pengawasan regulasi dan penguatan SDM," ucap Djoko saat dihubungi, Senin (2/1/2017).
Kapal Zahro Express dengan bobot 106 gros ton berkapasitas angkut maksimal 285, termasuk awak. Sementara dalam manifes pelayaran yang ditandatangani petugas kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Muara Angke, kapal ini hanya mengangkut 100 orang.
Tapi, jumlah penumpang kapal yang terbakar tersebut, lebih dari itu. Korban yang berada di dalam kapal mengungkapkan, bahwa ketersediaan pelampung minim. Sehingga, antar penumpang sempat berebut pelampung begitu api mulai menjalar kapal.
"Yang masih sering lalai, selalu soal manifes dan ketersediaan instrumen keselamatan. Setiap kecelakaan kapal, sering terjadi manifes yang tidak sesuai," ujar Djoko.
Artinya, pengelolaan terminal penumpang di setiap pelabuhan harus dibenahi. Menurut Djoko, terminal penumpang pelabuhan harus steril, dan tidak sembarangan orang boleh masuk. Penyediaan instrumen keselamatan kapal juga harus ditingkatkan. Standar Operasional Prosedur harus diberbaiki. Harus ada pelatihan buat awak kapal sebelum mendapat sertifikat.
"Minimal di kapal apapun harus tersedia pelampung. Meski kapal nelayan atau kapal pompong sekalipun yang sering tidak sediakan pelampung. Untuk kapal besar, harus ada petunjuk penyelematan seperti naik pesawat," imbuh Djoko.