Terminal Kampung Rambutan yang Tak Lagi Seram
Dahulu, para calon penumpang cemas bukan kepalang saat masuk ke kawasan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Dahulu, para calon penumpang cemas bukan kepalang saat masuk ke kawasan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Bayangan kebahagiaan berkumpul dengan keluarga di kampung halaman, harus sedikit terganggu dengan rasa takut ketika hendak memulai perjalanan dari Jakarta, menggunakan angkutan bus melalui Terminal Kampung Rambutan.
Segerombol orang, sebagian bertato, akan segera mendekat ke arah calon penumpang dan menanyakan perihal kota tujuan. Bahkan, ada yang sampai berusaha merebut tas calon penumpang dan memaksa mengikuti calo itu ke sebuah agen.
Calo preman itu pun tak kasihan memberikan harga tiket lebih mahal dari harga jual di agen resmi perusahaan otobus (PO). Jika menolak, calon penumpang akan menerima intimidasi.
Belum hilang rasa takut 'dikepung' calo preman, calon penumpang kembali harus berhadapan dengan pedagang asongan yang sebagian memaksa ketika menjual barangnya. Bahkan, ada yang hingga menodongkan senjata tajam. Profesi asongan hanya jadi kedok melakukan kejahatan.
Jadilah selama ini terminal Kampung Rambutan dipandang sebagai tempat yang menakutkan, bukan lagi tempat pangkal bahagia ketika hendak pulang ke kampung halaman.
Emiral August, pada medio 2015, ditugaskan menjadi Kepala Terminal Antar-kota Antar-provinsi Kampung Rambutan. Pada awal tugasnya, ia mengamati bagaimana kondisi terminal itu.
"Saat saya datang ke sini tahun 2015, memang belum teratur. Asongan jumlahnya ratusan orang, siapa yang tahu dari mereka lakukan kejahatan? Belum lagi yang sering disebut calo itu. Saya membayangkan ketika mendengar keluhan masyarakat terhadap terminal ini," kata Emirald saat berbincang dengam Warta Kota, belum lama ini.
Setiap pedagang asongan maupun calo yang bertemu dengannya, mencoba menghindar. Emiral heran dan berpikir, betapa tidak humanisnya kawasan terminal yang baru dipimpinnya itu. Terjadi sekat di mana-mana, antara petugas dengan pedagang, petugas dengan karyawan PO, bahkan saat itu pedagang juga saling berkelompok dan bermusuhan.
Emiral mengibaratkan kondisi saat itu seperti 'kehidupan di alam liar'. Tidak ada harmonisasi. Semua pihak seperti saling tegang dan bermusuhan.
"Tak lama saya kumpulkan semua pedagang asongan. Saya mulai atur. Mereka ini keluarga besar di sini. Tidak boleh ada kelompok-kelompok. Saya akhirnya minta pedagang asongan didata dan wajib mengenakan seragam. Ada empat warna seragam yang menunjukkan tempat mereka boleh berjualan sesuai zonasi," kenangnya.
Dari sana, Emiral perlahan memberikan pembinaan. Setiap Jumat, pedagang diwajibkan kerja bakti bersama. Setiap kamis malam, ia juga mengadakan pengajian umum bagi pedagang di lingkungan terminal. Ia ingin lebih dahulu membentuk karakter melalui pendekatan agama. Dan perlahan, upaya itu membuahkan hasil.
"Bagi yang tidak mau berubah, dagang suka maksa, maka akan terseleksi dengan sendirinya. Pedagang lain pasti akan marah jika tahu masih ada yang begitu. Sudah banyak yang diamankan, bahkan saya serahkan ke polisi untuk dipidanakan, karena dia merugikan penumpang dengan cara menodong," tuturnya.
Masalah pedagang, kini tak hanya dari segi perilaku yang berubah. Tidak kalah menggembirakan, Emiral menyebut para pengasong kini lebih teratur, rukun, dan disiplin dalam menjaga kebersihan area terminal.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.