Anggota DPRD Blak-blakan, Ternyata Begini 'Kelakuan' Pejabat DKI sejak Ahok Dipenjara
DPRD DKI Jakarta menilai sejumlah pejabat mulai tampak bersikap seperti ini setelah Ahok dipenjara.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, GAMBIR - DPRD DKI Jakarta menilai sejumlah pejabat mulai tampak bersikap tak loyal sejak mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dipenjara dan Pemprov dipimpin Gubernur Djarot Saiful Hidayat.
Sekretaris Komisi A DPRD DKI, Syarif menggambarkan hal itu menyusul kisruh hilangnya anggaran sebesar Rp 250 milliar untuk pembebasan lahan RPTRA.
Menurut Syarif, sejumlah pejabat cenderung tak lagi menganggap Djarot dalam urusan penganggaran pembebasan lahan tersebut.
"Ini saja tak ada pejabat yang mau mengakui kesalahannya dalam terhapusnya anggaran Rp 250 milliar itu," kata Syarif dalam jumpa pers di Gedung DPRD DKI di Jalan Kebonsirih, Jakarta Pusat, Selasa (29/8/2017).
Syarif menyebut Kepala Bappeda kini cenderung saling lempar kesalahan dengan empat walikota terkait urusan tersebut.
"Bappeda bilang penghapusan atas usulan dari walikota. Tapi walikota bilang tidak," kata Syarif.
Pejabat terkait dinilai tak lagi menurut terhadap Gubernur Djarot karena soal penghapusan anggaran pembebasan lahan RPTRA tidak dilaporkan sama sekali kepada Djarot.
"Saya sudah berkomunikasi dengan Pak Djarot. Katanya beliau tak mengizinkan penghapusan itu, tapi pihak Bappeda juga tak meminta izin ke Djarot soal penghapusan itu," jelas Syarif.
Menurut Syarif pihak Bappeda terlalu banyak alasan di kasus ini.
Pembahasan anggaran Rp 250 milliar itu sudah dibawa sejak awal semester pertama tahun 2017 karena akan dimasukkan ke APBDP 2017.
Sejak pendalaman dan pembahasan Kebijakan Umum Perubahan APBD serta Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUPA-PPAS) Perubahan 2017, kata Syarif, komisi A terus mendorong agar hal itu berjalan.
Namun kemudian hari muncul alasan bahwa nomenklaturnya tak sesuai jika pembebasan lahan diserahkan kepada wali kota.
Namun pada Maret 2017 dan Mei 2017 dikeluarkan Pergub (Peraturan Gubernur) dan Kepgu (Keputusan Gubernur) untuk memberikan kewenangan pengadaan lahan kepada walikota.
"Beres kan masalah nomenklatur dengan Pergub dan Kepgub itu," kata Syarif.
Kemudian pada pembahasan berikutnya muncul lagi alasan bahwa waktunya tak cukup untuk pembebasan lahan, sehingga Bappeda dan wali kota sama-sama takut anggaran sebesar Rp 250 milliar itu menjadi silpa atau anggaran yang gagal terserap.
"Alasan itu juga patah, sebab dari lima wali kota, Walikota Jakarta Barat menyanggupinya dan bisa membebaskan lahan tersebut. Jadi ada empat wali kota yang tak sanggup. Patah kan alasan ini," ujar Syarif.
Kemudian menjelang rapat Badan Anggaran pada pekan lalu alasan lain muncul lagi, yakni DKI defisit anggaran Rp97 milliar sehingga pengadaan lahan RPTRA mesti dihapus.
"Padahal setelah kami cek, anggaran soal pembebasan lahan itu sudah di nol kan Bappeda sejak sebelum rapat Banggar," kata Syarif yang juga menilai pejabat dan PNS DKI tak lagi menurut dengan Djarot.
Syarif mengatakan, terhapusnya anggaran ini akan membuat pengerjaan RPTRA tidak maksimal pada 2018.
"Sekarang Bappeda bilang nanti pakai lahan aset. Lahan aset cuma sedikit. Targetnya kan 259 RPTRA," kata Syarif.
Karena itu, menurut Syarif, pejabat yang tidak lagi loyal terhadap birokrasinya saat ini harus ditinjau ulang saat Anies-Sandi menjabat.
Bappeda Melawan
Sedangkan Kepala Bappeda DKI Jakarta, Tuty Kusumawati, membantah hal tersebut.
Menurut Tuty, penghapusan anggaran Rp250 milliar itu dilakukan berdasarkan usulan dari 4 walikota.
Tuty pun mengungkap bahwa dirinya memiliki seluruh nomor surat dari para walikota terkait usulan penghapusan anggarn tersebut, antara lain :
1. Kota Administrasi Jakarta Pusat Nomor Surat 1391/078.41 Tanggal 26 Mei 2017 Perihal Permohonan Usulan Perubahan Anggaran Kegiatan Kota Adm Jakarta Pusat Tahun 2017
2. Kota Administrasi Jakarta Utara Nomor Surat 1570/-078.2 Tanggal 26 Mei 2017 Perihal Usulan Perubahan APBD Tahun 2017
3. Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor Surat 407/-1.713.6 Tanggal 24 Mei 2017 Perihal Usulan Perubahan APBD Tahun 2017
4. Kota Administrasi Jakarta Timur Nomor 3262/-078.2 Tanggal 19 Juni 2017 Perihal Revisi Perubahan Anggaran
5. Kota Administrasi Jakarta Barat Nomor 1611/-078.2 tanggal 21 Juli 2017 perihal Usulan Perubahan Anggaran APBD Tahun 2017
Tuty menjelaskan, posisinya hanya mengadministrasikan usulan SKPD. Jadi dalam konteks lahan ini justru walikota sendiri yg usul dimatikan.
"Kami konfirmasi beberapa kali bahkan sampai rapat Banggar terakhir, dengan tegas 4 walikota mengatakan tidsk sanggup. Akhirnya Banggar putuskan dimatikan," jelas Tuty ketika dihubungi pada Selasa (29/8/2017) siang.
Dengan tak terserapnya anggaran, kata Tuty, maka demi membangun RPTRA, Pemprov DKI akan memanfaatkan lahan-lahan yang sudah dibebaskan selama th 2013-2017 serta mengoptimalkan aset-aset Pemprov DKI yang sudah ada namun masih belum optimal difungsikan.
Lahan-lahan itu adalah lahan sasana krida, eks kantor lurah yang sudah tidak dipakai karena sudah dibangun di tempat lain yg lebih representatif, dan lainnya.
Bahkan untuk tahun 2018, Tuty menyebut sudah ada lahan RPTRA yang disiapkan dan akan dianggarkan untuk pembangunannya.
Pembangunan RPTRA
Pulau Seribu 3 Lokasi Rp 9,6 M, lalu JakPus 5 Lokasi Rp 7,5 M, JakSel 10 Lokasi Rp 17,2 M, JakTim 10 Lokasi Rp 24,6 M , JakUt 10 Lokasi Rp 17,0 M, JakBar 10 Lokasi Rp 17,1 M.
Totalnya ada sebanyak 48 RPTRA yang bakal dibangun dengan anggaran Rp 93,2 milliar.
Lagipula KUA PPAS 2018 belum dibahas, maka dalam pembahasan dengan DPRD masih dimungkinkan diusulkan penambahan jumlah RPTRA yg akan dibangun di 2018.
"Untuk itu dimintakan kepada Badan pengelola aset daerah agar melakukan mapping aset Pemprov yg dpt dibangun RPTRA," kata Tuty.
Artikel ini sudah dipublikasikan di WARTA KOTA dengan judul: Sejak Ahok Dipenjara, PNS DKI Dinlai Kangkangi Djarot