Yudi Latief: Generasi Muda Menuju Masyarakat Pancasila
Tutur katanya santun namun tegas dan mudah dimengerti. Setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya tertata rapi sekaligus memiliki daya magis
Editor: Toni Bramantoro
Misalnya, pada sila pertama yang menyiratkan bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan multi agama. Sesuai pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Selanjutnya dalam sila kedua yang mensiratkan kemajemukan masyarakat berdasarkan ras manusia. Sedangkan, di sila ketiga menggambarkan bangsa ini sebagai bangsa yang beragam, tapi pada saat yang sama menyadari akan adanya tautan-tautan persatuan.
Sementara itu, penjelasan terkait sila keempat, yakni mengenai keberagaman partai dan aliran partai politik. Dan, sila kelima yang menggambarkan kemajemukan dari segi lapisan kelas sosial.
Selanjutnya, menurut Yudi Latief, dalam hal membumikan Pancasila di dalam kehidupan anak muda, pertama-tama penting untuk memahami lima isu strategis. Di antaranya, Pemahaman Pancasila, Inklusi Sosial, Keadilan Sosial, Pelembagaan Pancasila, dan Keteladanan Pancasila.
“Sila pertama adalah keragaman agama dan keyakinan. Sila kedua mendeklarasikan kita ini beragam dari ras manusia. Indonesia ini ras papua milanesia yang paling tua, jadi kalau ada yang bilang pribumi paling pribumi Indonesia itu sebenarnya adalah orang Papua Milanesia,” tuturnya.
“Banyak keturanan-keturunan Eropa di kita mulai di pelabuhan-pelabuhan transit serta tempat perkebunan. Kita juga boleh dibilang negara dengan mozaik warna kulit yang paling lengkap. Mulai yang paling hitam di timur, agak light di Maluku, sawo mateng kita punya, kulit kuning kita punya seperti Nias, bagian Dayak kulit merah, Mentawai kulit putih, juga ada jadi lengkap,” urai.
Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) ini kembali menjelaskan, pendidikan Pancasila bisa disampaikan melalui jalur pendidikan. Ia menggarisbawahi materi pengajaran dan penyampaian Pancasila harus diperbaiki.
Tak hanya itu, guru-guru dan dosen juga harus dilatih dengan tujuan agar dapat menjabarkan Pancasila dengan menyesuaikan perkembangan peserta didik. Selain itu, konten dan metode harus disesuaikan dengan perkembangan anak didik.
“Pendidikan itu belajar menjadi manusia dengan belajar dari kehidupan sepanjang hidup. Jadi kita belajar masuk sekolah untuk belajar jadi manusia yang benar bukan belajar untuk semata-mata ayo matematika. Yang utama belajar menjadi manusia yang benar. Nah, untuk belajar menjadi manusia yang benar itu fundamen-fundemen kemanusiaan budi pekerti itu harus bener dulu,” ujarnya.
“Orang Australia bilang kami nggak cemas kalau hasil test matematika anak-anak tidak mengembirakan, karena kalau itu gampang tinggal panggil satu guru les privat dalam sebulan bisa langsung pinter. Yang kami takut itu kalau anak-anak kemudian tidak bisa antri. Lalu, anak-anak tidak bisa menghargai karena mengubah itu tidak bisa just over night itu bisa lama sekali. Makanya kita paham kenapa di Jepang tiga tahun pertama sekolah dasar tidak diajarin apa-apa kecuali budi pekerti karena yang lain-lainnya mudah,” paparnya.
“Kalau yang fundamen itu fundamen baik buruk mana yang patut mana yang tidak patut mengambil yang berhak atau tidak berhak. Kalau itu sudah selesai kemudian dimulai dengan reading habbit. Apalagi sekarang kita dihadapi pada satu kenyataan Indonesia itu kan penggunaan sosial media paling intens tapi minat bacanya paling rendah,” tuturnya.