Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ramadhan Mendidik Umat untuk Menahan Amarah kata Abdul Moqsith Ghazali

Tidak saja menahan haus dan lapar, namun harus digunakan pula untuk tidak melakukan amarah terhadap siapapun termasuh melakukan aksi kejahatan seperti

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Ramadhan Mendidik Umat untuk Menahan Amarah kata Abdul Moqsith Ghazali
ist
Abdul Moqsith Ghazali 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bulan Ramadhan digunakan untuk mendidik dan mengedukasi umat islam agar belajar menahan diri dari.

Tidak saja menahan haus dan lapar, namun harus digunakan pula untuk tidak melakukan amarah terhadap siapapun termasuh melakukan aksi kejahatan seperti terorisme.

“Alih-alih untuk bertindak melakukan kejahatan terorisme, marah saja di bulan Ramadhan ini jugatidak boleh. Jadi bisa saja ada orang yang tidak makan, tidak minum, tapi jika dia melakukan tindakan distrutif sekalipun tidak makan dan tidak minum, maka tidak dapat pahala dari puasanya,” ungkap Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. KH. Abdul Moqsith Ghazali, MA, Senin (28/5/2018)

Dijelaskan Abdul Moqsith Ghazali, Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa banyak orang yang berpuasa yang diperoleh baginya hanya lapar dan haus, yaitu orang yang berpuasa yang tidak sanggup menahan diri dari melakukan kejahatan-kejahatan.

“Kejahatan yang dimaksud yaitu baik kejahatan individual, maupun kejahatan yang sifatnya masif seperti tindakan terorisme. Jadi tidak boleh itu (aksi terorisme),” jelasnya.

Selain itu menurutnya di bulan ramadhan ini, umat islam juga dilatih untuk membangun keberpihakan kepada orang lain yang tidak berpuasa, seperti orang fakir, orang miskin dan lain-lain. Karena Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa barang siapa yang memberi makan kepada orang yang sedang berpuasa, maka pahalanya cukup besar nanti di surga.

“Selain itu di dalam bulan ramadhan kita juga diwajibkan untuk melakukan Zakat fitrah yang akan diberikan kepada orang-orang, terutama fakir miskin yakni orang yang secara ekonomi berada pada level terbawah, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya,” ujarya.

Berita Rekomendasi

Tak hanya itu, menurutnya, di bulan Ramadhan maupun bukan bulan Ramadhan, masyarakat pengguna media sosial juga tidak diperbolehkan untuk menyebarkan hasutan, fitnah dan ujaran kebencia (hate speech), karena hal tersebut dapat merusak persatuan dan perdamaian bangsa. Karena kalau sampai masyarakat terjebak dalam hal tersebut dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal yang mengarah kepada aksi terorisme.

“Didalam dunia modern apalagi didalam dunia yang makin canggih dimana tekhnologi makin maju, gerakan terorisme dengan mempengaruhi percakapan publik, membentuk opini publik ditengah masyarakat, hal itu mengalami pelipatgandaan pengaruh melalui media sosial. Karena gratis mereka jadi mudah  bergerak,” tutur pria yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dicontohkannya, jika dahulu ada jaringan kelompok NII, DI/TII dan sebagainya, tentunya tidak mudah bagi kelompok tersebut untuk bergerak secara cepat. Kelompok tersebut tidak dapat berkembang menjadi besar karena pada saat itu  tidak ditopang oleh fasilitas seperti media sosial. Karena tantangan yang ada sekarang adalah bagaimana membatasi ruang gerak radikalisme itu karena mereka menggunakan telegram, media sosial, televisi dan sebagainya.

“Jika seperti itu kondisinya, maka harus diperbaiki dari berbagai aspek. Misalnya ustad-ustad yang diduga memiliki paham, cara pandang keagamaan yang radikal, maka media besar seperti TV harus membangun kesadaran bersama untuk tidak mengajak atau melibatkan ustad yang terafiliasi dengan paham radikal,” paparnya.

Namun menurutnya, kalau media TV tidak punya kesadaran itu, hal itu akan menyumbang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya terorisme di Indonesia. Karena pengaruh TV di Indonesia masih lebih tinggi ketimbang media sosial.

“Media TV harus menghujani kesadaran masyarakat terhadap toleransi, terhadap hidup ber-Bhinneka Tunggal Ika. Karena media TV masih menjadi rangkin pertama dalam mempengaruhi opini publik,” kata peraih Doktoral bidang Tafsir al-Qur’an di UIN Jakarta ini.

Sedangkan menghalau propaganda radikalisme dan terorisme melalui media sosial menurutnya tidak mudah. Namun negara kita kita diuntungkan memiliki undang-undang ITE yang dapat dipakai karena radikalisme itu awal mulanya adalah ujaran kebencian.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas