Deradikalisasi dan Kontra Radikalisasi Harus Ditingkatkan kata Arsul Sani
Radikalisme dan terorisme bukan sekadar fenomena, sehingga kerja-kerja deradikalisasi dan kontra radikalisasi harus ditingkatkan
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Radikalisme dan terorisme bukan sekadar fenomena, sehingga kerja-kerja deradikalisasi dan kontra radikalisasi harus ditingkatkan, termasuk sinergi dengan negara-negara lain.
"Radikalisme di negara kita sekarang ini adalah produk impor dari negara tertentu sehingga institusi di Indonesia, dalam hal ini BNPT, harus mengetahui asal dan cara penanganannya dengan bekerjasama dengan badan sejenis di negara lain,” ungkap anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani, SH, Msi, Senin (9/7/2018) malam.
Sejauh ini, ia menilai kinerja BNPT dalam bersinergi dengan badan internasional sudah sangat baik. Terbukti BNPT aktif di setiap konferensi anti terorisme.
Terakhir Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, diundang dan memaparkan strategi penanggulangan terorisme di Indonesia, dalam KTT Badan Anti Teror seluruh dunia di markas besar PBB, beberapa pekan lalu.
Bahkan, upaya lunak (soft approach) BNPT dalam menjalankan program deradikalisasi dengan merangkul dan memanusiakan mantan napi terorisme dan keluarganya, menjadi acuan negara-negara lain.
Pasalnya, selama ini penanganan terorisme, terutama di luar negeri, hanya difokuskan pada tindakan hukum (hard approach) saja.
Belanda langsung mengutus Menteri Luar Negeri Stephanus Abraham Blok datang dan melihat langsung cara deradikalisasi Indonesia di Yayasan Lingkar Perdamaian pimpinan mantan teroris Ali Fauzi, adik bomber Bom Bali Amrozi, di Lamongan.
Disini, ada sekitar 37 mantan napiter telah sepakat untuk menjadi agen perdamaian dengan membangun lembaga pendidikan terhadap anak dan keluarga mantan napiter. Mereka juga mengajak rekan-rekannya yang belum ‘sembuh’ untuk kembali ke jalan yang benar.
Hal yang sama juga dilakukan di Desa Mencirin, Deliserdang, Sumatera Utara. DI tempat ini, mantan teroris, Khoirul Ghazali memimpin pondok pesantren yang sebagian besar santrinya anak teroris.
Sebelumnya, sudah banyak badan anti teror dari berbagai datang ke Indonesia untuk bertukar pikiran dalam penanganan terorisme. Salah satu fokus dari kedatangan mereka adalah mendalami cara pendekatan lunak BNPT.
Arsul Sani menilai, kerja-kerja internasional BNPT sudah bagus. Namun ia yakin dengan adanya UU Anti Terorismenya yang baru itu, penanganan terorisme bisa lebih maksimal. Menurutnya, dalam UU Anti Terorisme yang baru disahkan, telah payung-payung hukum deradikalisasi dan kontra radikalisasi telah diatur dengan baik.
Hal itu karena para pembuat undang-undang yaitu DPR dan pemerintah sadar bahwa terorisme merupakan kejahatan transnasional. Dari situlah akhirnya dirumuskan beberapa pasal yang merupakan tindak pidana baru dalam sistem hukum pidana di Indonesia dan dari situlah nampak aspek global atau transnasional itu.
Contohnya, lanjut Arsul, dulu yang bisa dihukum dalam kasus terorisme adalah orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme yang locus delicti (tempat melakukan perbuatan pidana) di Indonesia saja.
Tapi dengan UU Anti Terorisme yang baik, seseorang yang melakukan perbuatan terorisme di luar negeri, lalu pulang ke Indonesia, maka sistem hukum di Indonesia bisa langsung melakukan proses hukum. Artinya, ini sudah contoh bahwa aspek global atau transnasional dalam regulasi terorisme di Indonesia sudah ada secara nyata.
“Saya yakin dengan UU Antiterorisme yang telah disahkan, kita bisa bisa mengantisipasi bentuk-bentuk tindak pidana terorisme yang ada sekarang, maupun akan datang. Bahkan juga memberikan kewenangan tidak hanya dalam wilayah terorial indonesia, juga di luar negeri,” jelas mantan anggota Pansus Revisi UU Anti Terorisme ini.