Hidup Ini Sebuah Ujian Agar Kita Beramal dan Berbuat Baik kata Ahmad Syafii Mufid
Bulan Ramadan bukan sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari emosi, kebencian dan perpecahan.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bulan Ramadan bukan sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari emosi, kebencian dan perpecahan.
Karena Ramadan yang diperingati oleh seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia menjadi momentum terbaik bagi umat Islam membangun persaudaraan dan perdamaian.
Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jakarta, Prof. Dr. KH. Ahmad Syafii Mufid, MA meminta kepada masyarakat pada umumnya dan masyarakat muslim pada khususnya di Indonesia agar menjadikan bulan Ramadan itu sebagai sarana untuk penyucian jiwa maupun penyucian pikiran dengan membuka, membaca, merenungkan dan memaknai kitab suci Al-Quran. Ini sebagai upaya untuk menyegarkan pikiran dalam membangun persaudaraan dan perdamaian di tengah masyarakat.
“Bulan Ramadan ini tentunya harus kita gunakan sebagai wadah untuk penyucian pikiran agar pikirannya itu menjadi pikiran yang sehat dan pikiran yang bertanggung jawab. Dengan merenungkan dan memaknai Al-Quran itu mudah-mudahan bisa menjadi petunjuk mengenai apa yang harus kita lakukan dalam kondisi bangsa semacam ini. Karena hidup ini adalah sebuah ujian untuk kita agar bisa beramal dan berbuat yang baik untuk negara dan bangsa ini,” ungkap Prof. Dr. Ahmad Syafii Mufid, Selasa (7/5/2019).
Lebih lanjut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment (INSEP) ini mengatakan, dengan perbuatan yang baik itulah yang nantinya menjadi bekal kita semua sebagai manusia untuk kembali kepada Allah SWT.
“Kalau kita tidak memikirkan itu, tentunya kita nanti yang akan rugi. Sekarang ini kita muda, sebentar lagi menjadi tua, setelah tua kita meninggal. Nah kalau meninggal apa yang kita bawa kalau bukan amal perbuatan kita selama di dunia. Kalau tidak ada yang kita bawa maka kita nanti akan menyesal. Itu dari sisi kegaiban,” ujar peraih Doktoral dari International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden, Belanda ini.
Lalu dari sisi lahiriyah menurutnya, kalau manusia sudah makin tua, tidak punya lagi jabatan atau pengaruh lagi di masyarakat yang mana hidupnya selama ini dituntun oleh orang lain, maka mereka nantinya akan sadar bahwa apa yang diperbuat dan dilakukannya selama ini dengan berbagai macam model misalkan berbuat jahat, tidak jujur, tidak adil, suka memfitnah atau mengatakan dengan kata-kata yang tidak benar, itu nanti penyesalannya akan luar biasa.
“Itu yang seringkali tidak disadari, tidak dipahami oleh orang-orang yang masih sehat, masih gagah, uangnya banyak dengan kekuasaan itu. Bahwa menjaga lisan dan juga perbuatan kepada sesama umat manusia itu juga merupakan sesuatu bekal yang akan kita bawa di akhirat nanti,” ujarnya
Tak hanya itu pasca pesta demokrasi yang telah dijalankan bangsa ini, dirinya meminta kepada seluruh masyarakat agar dapat menjalin silaturahmi dengan tidakmengumbar emosi, kebencian, makian dan permusuhan. Dirinya merasa prihatin kalau masih saja ada dari sebagian masyarakat yang berpikirnya untuk sendirian, kelompok yang senantiasa untuk menafihkan diri orang lain dan kelompok orang lain.
“Bolehlah berkontestasi atau bermusabaqoh. Tetapi bermusabaqohlah atau berkontestasilah secara jujur, adil dengan menggunakan pikiran, hati dan perasaan secara baik, utuh, manusiawi dan ber Akhlakul Karimah,” kata peraih Pascasarjana Antropologi dari Universitas Indonesia ini.
Dirinya mengamati dalam jejaring media sosialnya yang ternyata banyak sekali kontestasi itu diwarnai dengan penyebarluasan kampanye negatif atau kampanye hitam dari masing-masing pihak terhadap pihak lawannya. Dan itu terjadi selama delapan bulan lebih dan bahkan memasuki bulan Ramadan ini pun juga masih ada. Hal tersebut entunya menjadi problem besar bangsa ini.
“Karena bangsa ini sudah terkotakkan. Orang yang netral, berada ditengah-tengah pihak dan berusaha bijaksana sudah ditarik kesana-kesini untuk membuat pernyataan ini-itu, dukungan kepada kelompok ini-itu. Sehingga ketika terjadi pemilahan sosial semacam ini tentunya menjadi sulit siapa yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Tentunya ini problem serius buat bangsa kita saat ini,” katanya.
Diakuinya, dengan kondisi seperti itu tentunya agak sulit untuk mencari sosok figur yang netral yang bisa menjadi panutan masyarakat. Namun demikian menurutnya, kita semua tidak boleh putus asa. Di bulan Ramadan inilah sejatinya kita semua mau untuk introspeksi dan mawas diri.
“Apa yang telah kita lakukan selama ini tentunya kita banyak istihfah kepada Allah dan membaca Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia seluruhnya. Karena di dalam Quran itu disebutkan bukan untuk muslimin saja, tapi untuk seluruh manusia. Dan fungsinya untuk membentengi untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang salah,” ujarnya.
Menurutnya, melakukan tadarus Al-Quran bagi umat muslim itu adalah untuk menempatkan wahyu Allah itu diatas pikiran manusia. “Jangan di balik wahyu Allah di tafsirkan menurut emosi, perasaan dan nafsu manusia. Kalau terbalik seperti itu yang terjadi adalah panas. Kalau panas itu terjadi maka yang terjadi adalah permusuhan antara yang satu dengan yang lain,” ujar Peneliti Senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama ini.
Lalu kepada umat muslim yang sudah memiliki posisi-posisi yang baik itu menurutnya, hendaknya bulan Ramadan ini juga bisa digunakan sebagai sarana untuk penyucian harta dengan ditebarkan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Karena dengan cara seperti itu maka akan muncul rasa cinta kasih dan kedamaian.
“Kalau cinta kasih dan kedamaian itu muncul dari para tokoh atau para elite, maka masyarakat akan mengikuti dan kembali bahwa kita itu sebagai bangsa yang damai. Yang mana sebagai Bangsa yang satu dengan yang lain, seperti duku yaitu ketika ikrar bersama sebagai Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa lalu dilanjutkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang mana Proklamasi Kemerdekaan itu untuk memakmurkan bangsa Indonesia,” katanya.
Untuk itu mantan Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta ini meminta kepada seluruh umat muslim bahwa bulan Ramadan ini harus bisa menjadi momentum terbaik bagi umat Islam membangun persaudaraan dan perdamaian.
Karena masyarakat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia telah menyambut Ramadhan dengan berbagai macam tradisi yang sangat luar biasa, indah dan penuh makna.
“Kalau di Semarang ada acara namanya Warak Ngendog dalam menyambut Ramadan. Warak Ngendok itu adalah simbolisasi yang bermula dari ajaran para wali di jaman dahulu. Warak itu diibaratkan makhluk rekaan yang merupakan akulturasi/ persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang yaitu etnis Cina, etnis Arab dan etnis Jawa sebagai upaya intuk menjaga kehormatan, perilakunya agar sesuai dengan akhlak yang mulia,” ujarnya.
Dijelaskan Syafii Mufid, hal itu terjadi karena di jaman Wali dulu, kalau manusia bisa menjaga perilaku dengan akhlak yang mulia, maka Warak itu akan Ngendok (bertelur) yang artinya berbuah dan bermanfaat, sehingga menjadi manusia yang bermanfaat. Sehingga dapat menjadi manusia yang bisa menjaga moral, budi pekerti, akhlak, karakter yang luhur.
“Nah Ramadan itu di ibaratkan sebagai Warak yang Ngendok itu. Ini merupakan simbolisasi yang dibuat oleh para pendahulu kita tentang memaknai Ramadan dalam bentuk festival atau tradisi yang dibalut dengan kesenian. Bahkan di daerah-daerah lain ada yang berziarah ke makam orang tua dengan mendoakan kedua orang tuanya. Itulah suasana yang menandai datangnya bulan suci Ramdan,” urainya.