M Bakry: Masyarakat Harus Menjadikan Ramadan Ini Sebagai Bulan yang Mengajarkan Semangat Kebersamaan
Bulan Ramadhan tahun ini cukup berbeda karena bertepatan dengan proses-proses krusial pasca Pemilihan Umum 2019 mulai dari perhitungan hingga penetapa
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Imam Besar Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar, Dr. KH. M. Muammar Bakry, Lc, MA, mengatakan, di tengah situasi bangsa Indonesia yang baru saja menjalani kontestasi politik dengan Pilrpes 2019 lalu, masyarakat harus bisa menjadikan bulan Ramadan ini sebagai bulan yang mengajarkan semangat kebersamaan untuk meraih kemenangan bersama
“Yang perlu saya sampaikan bahwa pemilu yang kita lakukan di Indonesia kemarin itu secara perintah agama sudah kita lalui. Karena Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa, ‘Jika kalian pergi bertiga, maka Angkatlah satu diantara tiga itu sebagai pemimpin’. Maknanya bahwa kepemimpinan itu satu hal yang mutlak dalam satu komunitas,” ujar Dr. KH. M. Muammar Bakry, Lc, MA, Kamis (23/5/2019)..
Menurutnya, dengan apa yang disabdakan Nabi bahwa jika bertiga saja itu wajib ada pemimpinnya, lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta yang tentunya juga harus ada pemimpin. Jika dalam memilih pemimpin itu semua proses dilalui dengan benar, maka tidak ada alasan untuk menolak hasilnya.
“Di dalam Islam namanya Syuro atau biasa kita istilahkan Musyawaroh. Wa Amruhum Syura Bainahum yang artinya kesepakatan-kesepakatan bangsa ini melalui demokrasi yang sudah kita sepakati tentu harus menjadi rujukan hukum dan memiliki kekuatan hukum. Karena itu perintah untuk memiliki satu kepemimpinan itu sudah dilakukan oleh Bangsa Indonesia ini. Jadi hal itu tentunya juga sudah islami,” kata Pemimpin Pondok Pesantren Multidimensi Al-Fakhriyah ini.
Menurutnya, bulan Ramadan kali ini juga terasa sangat istimewa karena menjadi aktual dan kontesktual sebagai penyambung keterputusan relasi sosial dan penambal keretakan di masyarakat. Dimana Ramadan adalah bulan mengajarkan kebersamaan untuk meraih kemenangan bersama tanpa kenal sekat pembeda agama, idelogi, partai politik dan latar belakang sosial budaya.
Menurutya Ramadan dalam hadist-hadist itu seperti ibarat lembaga pendidikan atau madrasah yang punya kurikulum. Nabi Muhammad SAW, menyebutkan bahwa Ramadan itu, pertama memberikan Rahmah, kedua yakni Maghfirah atau ampunan dan ketiga, yakni Itqun Minan Nar yaitu Pembebasan dari Api Neraka.
Maknanya bahwa Ramadan, sukma bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia dari kurikulum 10 hari pertama untuk menempa diri kita untuk memberikan Rahmah. Yang artinya bahwa dengan puasa yang kita lakukan, maka kita diharuskan untuk memberikan Rahmah atau kasih sayang kepada siapapun.
“Jadi Rahmah yang kita peroleh dari Allah SWT, itu seharusnya kita tebarkan kepada siapapun makhluk di bumi ini. Nabi menyatakan kasihilah semua yang ada di bumi, maka yang di langit akan mengasihi kamu. Jadi puasa yang berbekas bagi seseorang adalah puasa yang bisa menebarkan kedamaian, hubungan yang damai,’ ujar Muammar Bakry.
Kemudian kurikulum puasa kedua menurutbya yaitu Maghfirah atau Ampunan, yang mana diharapkan dari puasa yang kita lakukan itu dapat tercipta jiwa-jiwa yang mudah memaafkan. “Bukan jiwa-jiwa pemarah. Jadi jangan sampai kita berpuasa tetapi efek puasa itu tidak berbekas dalam kehidupan sosial kita di masyarakat,” katanya.
Dan kurikulum puasa ketiga yakni Itqun Minan Nar yaitu Pembebasan dari Api Neraka, yang artinya bahwa orang yang memiliki kualitas puasa yang baik adalah orang yang memiliki jiwa empati dan simpati. “Jadi lebih membantu orang yang susah, mudah menolong, bukan justru membuat masalah, tetapi menyelesaikan masalah,” ucapnya.
Oleh karena itu menurut Wakil Rektor IV Universitas Islam Makassar (UIM) ini, puasa yang baik adalah puasa yang memiliki jiwa yang bisa menyelesaikan masalah. Karena itulah puasa ini diharapkan menjadi produktif dalam sosial masyarakat.
“Kita harapkan efek puasa dari tiga kurikulum yang utama tadi maka di Ramadan ini kita dianjurkan untuk berkasih sayang, tidak punya jiwa yang cepat marah, kemudian memiliki hati atau jiwa yang simpati dan empati kepada sesama. Itulah yang seharusnya puasa itu menjadi banyak manfaat dalam kehidupan kemanusian,” ucap pria kelahiran Makassar, 22 November 1973 ini.
Diakuinya, sebelum Pilpres kemarin masyarakat seperti dibuat terpecah dengan perbedaan pilihan. Untuk itulah Ramadan ini harus dijadikan sebagai penyambung keterputusan relasi sosial dan penambal keretakan jalinan masyarakat akibat Pilpres kemarin. Yang mana Ramadan ini kita kembalikan kepada posisi utamanya, bukan hanya hubungan vertikal yang memperbaiki hubungan umat dengan Tuhan, tetapi juga harus digunakan untuk memperkokoh hubugan kita secara horizontal.
“Hubungan vertikal kita dengan Tuhan itu akan terpending karena hubungan horizontal kita dengan sesama manusia yang kurang harmonis. Ini menyebabkan puasa yang kita lakukan menjadi tertahan untuk sementara waktu hingga silaturahim itu bisa kita jalin kembali. Urusan politik saya kira hanya urusan lima tahunan, yang paling utama adalah kita merawat bangsa ini dan tujuan keumatan, kebangsaan untuk kemaslahatan. Itulah yang seharusnya kita pikirkan lebih fokus lagi,” ucapnya.