Resiko Setiap Warga Negara Alami Kekerasan Seksual Terus Meningkat kata Ketua IFLC
Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2014 hingga 2017 telah terjadi 21.310 kasus kekerasan seksual. Itu artinya, setiap tahun rata-rata terjadi 5.u327
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan DPR RI yang menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sebagai Prolegnas Prioritas pada 2016 dan sebagai RUU inisiatif DPR pada April 2017 banyak mendapat apresiasi positif masyarakat
Keputusan ini dipandang sebagai langkah maju mengakhiri kekerasan seksual, sekaligus melindungi semua lapisan warga negara. Tak terkecuali oleh Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas).
"Indonesia sudah dalam kondisi darurat kekerasasan seksual. Dalam artian, resiko setiap warga negara dalam mengalami kekerasan seksual terus meningkat," ungkap Ketua Indonesia Feminist Lawyer Club (IFLC), Nur Setia Alam, Selasa (17/9/2019).
Dikatakannya, merujuk pada angka Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2014 hingga 2017 telah terjadi 21.310 kasus kekerasan seksual. Itu artinya, setiap tahun rata-rata terjadi 5.327 kasus.
Belum lagi hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) bersama BPS di tahun 2016, menemukan sebanyak 33,4 persen perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun mengalami kekerasan dan kekerasan seksual.
"Bahkan, penelitian yang dilakukan FPL pada 2015-2016 di 20 provinsi menemukan bahwa hanya 10-15 persen pelaku kekerasan seksual yang dihukum pengadilan," ujar Nur.
Namun, lanjut Nur, sangat disesalkan, selama tiga tahun sejak 2016 hingga September 2019 (masa akhir periode DPR RI), belum ada kemajuan penting dalam pembahasan RUU P-KS.
"Panja RUU P-KS di Komisi VIII terkesan mengulur-ulur waktu dan menghindari kewajiban sebagai wakil rakyat untuk segera membahas serta mengesahkan RUU yang menjadi inisiatifnya sendiri. Selama tiga tahun penundaan pembahasan RUU di DPR, telah terjadi 16.943 kasus kekerasan seksual. RUU P-KS ini kok seperti RUU air mata sehingga begitu berat untuk diprioritaskan," ungkapnya.
Panja RUU P-KS dikatakannya cenderung mengabaikan perintah konstitusi. Yang dalam kaitannya dengan hal ini, negara harus hadir melindungi setiap warga negara, termasuk dari kekerasan seksual.
"RUU P-KS ini menjadi sangat penting sekali, tidak hanya untuk melindungi hak-hak korban serta menghukum para pelakunya, tetapi juga untuk menegakkan harkat derajat kemanusiaan, mewujudkan keamanan dan pembangunan yang berkeadilan bagi Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh pasal 281 ayat (4) UUD 1945 dimana perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara," urainya.
Untuk diketahui, IFLC bersama Peradi, HKHKI termasuk dalam 66 jaringan dan aliansi di dalam GEMAS yang di gawangi Komnas Perempuan mengawal isu tentang anak dan wanita.