Perayaan Natal ala Betawi: Simbol Keberagaman di Kampung Sawah
Antarwarga asli Kampung Sawah masih terikat hubungan kerabat, meski agama mereka berbeda-beda
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Eko Sutriyanto
Liputan Khusus Wartawan Tribunnews, Dennis Destrawan
TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Suara adzan Dzuhur berkumandang.
Terdengar dari halaman Gereja Katolik Santo Servatius.
Disambut suara lonceng berdentang, "ding-dong," seakan mengharmonisasi bebunyian.
Penggambaran harmonisasi kerukunan antar umat beragama di Kampung Sawah.
Kampung Sawah masih menyisakan secuil kesejukan suasana desa pinggiran kota.
Di kiri kanan jalan utama, yang membelah kampung di Kelurahan Jati Melati, Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, pohon-pohon besar masih berdiri rindang.
Hanya saja, hamparan sawah, yang dulu luas, kini semakin sempit, berganti kompleks-kompleks perumahan.
Baca juga: Jika Keluar Rumah Tak Pakai Masker, Warga Bekasi akan Didenda Rp 100 Ribu Sampai Rp 50 Juta
Kampung Kebhinekaan atau Kampung Toleransi.
Julukan itu disematkan untuk Kampung Sawah. Keberagaman seakan mewarnai kehidupan di sana.
Di bahu jalan -- tepat di depan pintu gerbang gereja -- anak-anak mengenakan masker dan sarung berjalan menuju Masjid Agung Al Jauhar Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi).
Di sisi lain, jemaat gereja tengah melakukan persiapan untuk ibadah saat Natal.
Mereka hidup berdampingan.
Bahu-membahu saling menolong ketika yang satu tengah merayakan hari besar keagamaan. Bisa dengan menyediakan lahan parkir atau memberikan konsumsi makanan.
Letak tempat ibadah tertua memang saling berdekatan di Kampung Sawah, di antaranya Gereja Katolik Santo Servatius, Gereja Kristen Pasundan, dan Masjid Agung Al Jauhar.
Saat Natal, Gereja Katolik Santo Servatius kental dengan nuansa adat Betawi.
Antarwarga asli Kampung Sawah masih terikat hubungan kerabat, meski agama mereka berbeda-beda.
Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan darah, melainkan juga melalui jalur perkawinan beda agama.
Baca juga: Jasa Marga Catat 125 Ribu Kendaraan Kembali ke Jakarta pada Hari Pertama Arus Balik Libur Natal
Ada yang kemudian melebur ke agama pasangannya.
Ada juga yang bertahan pada agama masing-masing.
Pada perayaan Natal, panitia Gereja Katolik Santo Servatius mengenakan pakaian adat betawi lengkap dengan kopyah, baju koko, dan sarung.
Umat katolik dan jemaat kristen ke gereja menggunakan kopyah dan kerudung juga hal yang biasa, bagian dari kebudayaan Betawi.
Perayaan Natal di tengah Pandemi Covid-19
Wakil Ketua Dewan Paroki Harian Gereja Santo Servatius Matheus Nalih Ungin (56) mengatakan akulturasi budaya Betawi dan Kristen sudah terjadi sejak tahun 1986 di Kampung Sawah.
Sebanyak 18 orang Betawi asli Kampung Sawah dibaptis oleh Pastor Schweitz.
"Setelah memeluk agama Katolik, 18 orang itu menggunakan tradisi Betawi setiap ada acara di gereja.
Itu cikal bakalnya," ujar Matheus kepada Tribun Network, Jumat (25/12).
Sampai saat ini jemaat Gereja Katolik Santo Servatius terus konsisten dan menjaga tradisi adat Betawi.
Bahkan saat perayaan Natal, beberapa jemaat mengenakan pakaian adat betawi.
Baca juga: Ide Menu Makan Besok, Resep Soto Betawi Susu Ini Seenak yang Dibeli di Pedagang! Wajib Coba
"Seluruh petugas mengenakan pakaian adat betawi," ucapnya.
Bagi umat yang hadir di gereja, diwajibkan untuk mendaftar melalui website dan diberi kuota maksimal sebanyak 200 jemaat.
Umat yang telah mendaftar akan mendapat tiket disertai barcode dan barcode ini yang akan diperlihatkan kepada petugas gereja saat menghadiri misa.
“Petugas kami, namanya Tim Gugus Kendali Paroki (TGKP), bertugas untuk men-scan tiket atau barcode yang dibawa umat.
Umat yang mengikuti misa di gereja harus berumur 18-59 tahun.
Selebihnya, umat yang tidak memiliki tiket dapat mengikuti misa secara daring," ujarnya.
Keberagaman di Kampung Sawah, ucap Matheus, sudah diajarkan sejak dahuku kala oleh para leluhur.
Mereka menyadari sebuah keadaan, bagaimana masyarakat yang berada di sekitar adalah bersaudara.
"Umat Muslim, Hindu, Budha. Toleransi sudah dilakukan leluhur kami.
Masyarakat Kampung Sawah akur, rukun, akrab satu sama lain," imbuh Matheus.
Gereja Santo Servatius tak bisa dilepaskan dari perkembangan liturgi Katolik di kawasan yang dikenal sebagai segitiga emas tiga agama besar di Indonesia tersebut.
"Kami saling membantu, saat perayaan umat Islam, Hindu, dan Budha, saling bahu membahu.
Bisa menyediakan lahan dan menjaga parkir, bantu keamanan, dan itu sudah berjalan sejak lama," sambungnya.
Seorang tokoh masyarakat Kampung Sawah, Jacob Napiun (64) menerangkan kebiasaan gotong royong, menghargai, dan saling menghormati sudah menjadi budaya, bagian dari kehidupan warga Kampung Sawah.
Lokasi rumah ibadah yang berdekatan ini membentuk sebuah segitiga yang berada di tengah-tengah Kampung Sawah.
Warga setempat kerap menyebutnya segitiga emas Kampung Sawah.
"Di tiga rumah ibadah ini pada hari Minggu punya kegiatan yang hampir sama waktunya.
Di Gereja Katolik setengah sembilan, di GKP jam sembilan, di Masjid ada pengajian bulanan rutin, itu juga jam sembilan pagi," kata Jacob.
Aktivitas bersamaan antara tiga rumah ibadah tidak sampai mengganggu satu dengan yang lain.
Kerukunan antar umat beragama sungguh terlihat di Kampung Sawah. Tak jauh dari segitiga emas, terdapat Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Di sana orang yang telah tiada pun hidup berdampingan, antara yang Muslim dan Kristiani. Makam mereka bersebelahan tanpa sekat.
Keberagaman dan berdampingan hingga akhir hayat.
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi tahun 2016 mencatat ada 52.512 penduduk di Kampung Sawah.
Ia meliputi 11.982 kepala keluarga, 149 rukun tetangga, dan 23 rukun warga.
Di kampung ini ada 27 masjid, 38 musala, dan 15 gereja.