Praktisi Hukum Sebut Kasus Sate Sianida Bukan Pembunuhan Berencana, Begini Penjelasannya
praktisi hukum Ricky Vinando bersikeras bahwa Polda DIY keliru jika menerapkan Pasal 340 KUHPidana tentang pembunuhan berencana dalam kasus sate bersi
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus sate bersianida yang salah sasaran dan menewaskan seorang bocah di Bantul ramai dibicarakan oleh publik.
Adapun NAN (25), pengirim takjil berupa sate bersianida awalnya berusaha mengirimkan makanan tersebut secara offline melalui ojol kepada mantannya yakni T. Motifnya karena T meninggalkan NAN dan menikah dengan wanita lain.
Terkait hal ini, praktisi hukum Ricky Vinando bersikeras bahwa Polda DIY keliru jika menerapkan Pasal 340 KUHPidana tentang pembunuhan berencana dalam kasus sate bersianida.
"Tidak ada pembunuhan berencana dalam kasus sate bersianida, ini clear, karena kan pertanyaan hukumnya, sate lontong beracun sianida itu disiapkan tersangka untuk siapa dan apa dia mati? untuk T kan dan faktanya T tidak mati, karena kan si pria, T yang menjadi target supaya memakan sate lontong beracun sianida justru menolak sate lontong yang dikirim tersangka melalui seorang tukang ojek via offline dengan alasan tidak kenal pengirim sate lontong itu," ujar Ricky, kepada wartawan, Kamis (6/5/2021).
"Karena ditolak oleh T yang menjadi target, sate lontong itu diminta supaya dibawa pulang saja oleh driver dan dimakan oleh anak driver ojek yang kemudian tewas. Artinya ini bukan pembunuhan berencana. Belum ada akibat matinya si target, jadi belum ada pembunuhan berencana," imbuhnya.
Ricky menjelaskan bahwa pembunuhan berencana ditilik dari semua putusan pengadilan yang ada, target pembunuhan haruslah dinyatakan tewas. Dalam hal ini target dari tersangka adalah T, yang hingga saat ini tidak tewas. Sehingga yang terjadi dalam kasus sate bersianida adalah baru percobaan pembunuhan berencana.
Baca juga: Kasus Sate Beracun di Bantul, Sosok R yang Misterius Hingga Teka Teki Nikah Siri NA dan Aiptu T
"Dalam kasus ini, otomatis matinya anak driver itu bukan pembunuhan berencana karena bukan keinginan tersangka, jadi tidak ada mens rea sama sekali sekalipun anak itu mati. Karena dia (tersangka) tak ada niat, tak ada motif apa pun karena targetnya adalah pria itu, tapi pria itu menolak sate lontong itu. Jadi sangat keliru menjerat dengan pasal pembunuhan berencana," kata Ricky.
Menurutnya, dalam kasus sate bersianida ini akan lebih tepat jika disebut sebagai percobaan pembunuhan berencana. Apalagi banyak putusan pengadilan mengenai percobaan pembunuhan berencana, dimana target tidak mati dan berhasil menghindar atau selamat dari rencana jahat pelaku yang merencanakan pembunuhan terhadap calon korbannya.
"Semua putusan pengadilan, kalau yang ditarget gagal dimatikan, itu percobaan pembunuhan berencana. Contoh putusan pengadilan kasus percobaan pembunuhan berencana di Jalan Boulevard Gading Raya, pada 13 September 2019 yang dilakukan Yuliana bersama selingkuhannya. Yuliana sudah mencampur racun sianida ke minuman suaminya namun gagal karena tak tega. Lalu pake skenario kedua, menyuruh pembunuh bayaran bunuh suaminya, tapi gagal juga karena suaminya berhasil selamat dengan kabur mengendarai mobilnya", tambah Ricky.
Sehingga apabila kepolisian menerapkan Pasal 340 KUHPidana, Ricky menilai hal itu terlalu dipaksakan dan janggal. Kecuali target tersangka dalam hal ini T mengkonsumsi sate bersianida tersebut dan tewas.
Yang terjadi dalam kasus ini tak lebih dari percobaan pembunuhan berencana yang tidak berhasil merenggut nyawa atau target dari tersangka.
"Jadi ancaman pidananya bukan pidana pidana mati atau pidana penjara seumur hidup melainkan paling lama 15 tahun penjara. Tidak membela pelaku itu ya, cuma meluruskan saja, begini hukumnya percobaan pembunuhan berencana. Karena ini jelas baru percobaan pembunuhan berencana, dan bukan telah terjadi pembunuhan berencana," jelas Ricky.
"Dengan percobaan pembunuhan berencana terhadap pria yang jadi target tersangka, maka Pasal 53 KUHP jo 340 KUHP dan karena anak itu mati maka Pasal 338 KUHP atau Pasal 80 UU Perlindungan Anak lah yang bisa dikenakan, 15 tahun paling lama, bukan pidana mati ya. Karena anak driver ojek mati akibat menyantap sate lontong dari tersangka yang ternyata sudah dicampur dengan sianida. Jadi, ini harus diluruskan tidak benar sudah terjadi pembunuhan berencana," tandasnya.