Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK Minta Pemerintah Segera Kaji Narkotika Golongan I Untuk Pelayanan Kesehatan Atau Terapi

Mahkamah Konstitusi (MK) RI meminta pemerintah segera mengkaji dan meneliti jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
zoom-in MK Minta Pemerintah Segera Kaji Narkotika Golongan I Untuk Pelayanan Kesehatan Atau Terapi
(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) RI meminta pemerintah segera mengkaji dan meneliti jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi.

Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan kebutuhan akan adanya kepastian dapat atau tidaknya jenis Narkotika Golongan I digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi sudah sejak lama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.

Hal tersebut, kata dia, dibuktikan dengan adanya fakta hukum dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang sudah mencantumkan "larangan secara tegas penggunaan jenis Nakotika Golongan I untuk terapi".

Dengan kata lain, lanjut dia, sesungguhnya fenomena perihal kebutuhan terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU 35/2009 diundangkan. 

Hal tersebut disampaikannya dalam sidang pengucapan putusan permohonan uji materiil UU 35/2009 tentang Narkotika oleh Santi Warastuti dkk di Gedung Mahkamah RI Jakarta Pusat pada Rabu (20/7/2022).

"Dengan demikian melalui putusan a quo agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan," kata Suhartoyo.

BERITA TERKAIT

"Termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud," sambung dia.

Sebab, kata Suhartoyo, penyerahan kewenangan oleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang didasarkan karena UU 35/2009 a quo tidak hanya mengatur tentang penggolongan jenis narkotika, akan tetapi termasuk di dalamnya juga mengatur tentang sanksi-sanksi pidana.

Baca juga: MK Tolak Uji Materi UU Narkotika Terkait Legalisasi Ganja Medis, DPR: Masih Ada Jalur Lain, Ini Dia

Oleh karena terhadap undang-undang yang di dalamnya memuat substansi hal-hal yang berkenaan dengan pemidanaan (kriminalisasi-dekriminalisasi), kata dia, Mahkamah dalam beberapa putusannya telah berpendirian hal-hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang atau open legal policy.

Sehingga, terhadap UU 35/2009 inipun cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya.

Hal tersebut, lanjut dia, karena di samping mengatur pemanfaatan narkotika yang diperlukan pengaturan yang sangat rigid dan secara substansial narkotika adalah persoalan yang sensitif, serta memuat sanksi-sanksi pidana. 

Pemerintah bersama para pemangku kepentingan, kata dia, juga harus mengatur secara detil tentang antisipasi kemungkinan adanya penyalahgunaan jenis Narkotika Golongan I.

Hal tersebut, lanjut dia, harus dilakukan apabila berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian ternyata jenis Narkotika Golongan I dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi dan memerlukan peraturan-peraturan pelaksana, lanjut dia.

"Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang, termasuk pembuat peraturan pelaksana harus benar-benar cermat dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus menerus," kata dia.

Ketua MK Anwar Usman kemudian menyatakan MK menolak untuk seluruhnya permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Putusan tersebut diucapkannya dalam sidang yang dihadiri seluruh hakim konstitusi dan terbuka untuk umum.

"Amar putusan. Mengadili. Satu, menyatakan permohonan pemohon V dan pemohon VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar.

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum yang sudah diuraikan, dalam konklusinya Mahkamah menyatakan berwenang mengadili permohonan para pemohon.

Kedua, Mahkamah menyatakan empat pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Empat pemohon tersebut yakni karyawan swasta Dwi Pertiwi, ibu rumah tangga Santi Warastuti, ibu rumah tangga Nafiah Murhayanti, dan Perkumpulan Rumah Cemara.

Baca juga: Ganja Sebagai Terapi Kesehatan Perlu Ditinjau dari Aspek Sosial

"Pemohon I, pemohon II, pemohon III, dan pemohon IV memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," kata Anwar.

Sedangkan pemohon V dan pemohon enam tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Pemohon V dan pemohon VI yang dimaksud adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Masyarakat.

"Empat, pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Anwar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas