Cerita Mengenai Puntung Rokok dan Terungkapnya Pelaku Pembunuhan Berencana
pembunuhan yang melibatkan artis pesinetron Lidya Pratiwi terungkap dari sebuah puntung rokok yang ditemukan saat olah TKP.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak ada ada kejahatan yang sempurna.
Kalimat itu sangat akrab bagi penegak hukum dalam mengusut kasus kejahatan.
Tak terkecuali dengan kasus pembunuhan yang melibatkan artis pesinetron Lidya Pratiwi yang terjadi 16 tahun silam ?
Anda tentu masih ingat dengan kasus pembunuhan yang menggemparkan tanah air itu.
Lidya didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap kekasihnya Naek Gonggom Hutagalung di Putri Duyung Cottage, Ancol pada 26 April 2006.
Lidya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan diganjar hukuman penjara selama 14 tahun.
Setelah sebelumnya oleh tim penyidik Polres Metro Jakarta Utara kala itu, Lidya dikenakan pasal berlapis.
Lidya terbukti melanggar pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dan pasal 365 KUHP tentang Pencurian dengan Kekerasan.
Sedangkan Vince Yusuf, ibunda Lidya dan pamannya Tony Yusuf, sebagai otak sekaligus pelaku pembunuhan keduanya dihukum seumur hidup dan hukuman mati.
Hingga kini keduanya masih mendekam di dalam penjara.
Lalu bagaimana ceritanya kasus pembunuhan ini berhasil diungkap oleh tim penyidik Reskrim Polres Jakarta Utara kala itu?
Bukti apa yang ditemukan oleh Polisi kala itu?
Tribunnews.com, Minggu (24/7/2022) memperoleh tulisan menarik dalam mengupas kasus tersebut.
Ternyata Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang biasa disebut Olah TKP menjadi kunci utama pengungkapan kasus itu.
Karena itulah mengapa polisi sangat menjaga TKP untuk rekonstruksi atau prarekonstruksi.
TKP dijaga, dibatasi garis polisi sehingga bukti-bukti tidak rusak, hilang, atau berubah posisinya.
Baca juga: Bebas dari Penjara, Ini Harapan Lidya Pratiwi yang Kini Ganti Nama Jadi Maria Eleanor
Inilah prinsip memperlakukan tempat kejadian perkara yang berlaku secara universal di seluruh dunia.
Sesaat setelah mendapatkan informasi ditemukannya sesosok mayat, tim Satreskrim Polres Jakarta Utara segera meluncur ke kamar Tongkol di Putri Duyung Cottage, Ancol.
Tim ini dipimpin langsung oleh Kasatreskrim Polres Jakarta Utara saat itu Kompol Andry Wibowo.
Kini perwira muda itu telah berdinas sebagai Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi.
Ya, beliau sekarang Brigjen Pol Andry Wibowo.
"Seluruh barang bukti yang ditemukan di lokasi tempat kejadian perkara dikumpulkan dengan teliti. Olah TKP menjadi kunci dalam mengungkap sebuah kejahatan, apalagi sebuah pembunuhan," ujar Andry Wibowo kepada pers.
Korban boleh saja sudah mati terbujur kaku, tapi kondisi luka yang terdapat pada tubuhnya, posisi jasad, serta barang-barang yang berada di sekitar lokasi seakan mampu memberikan petunjuk bagaimana sesungguhnya peristiwa yang telah terjadi.
Patut diingat bahwa pembunuhan ini terjadi di tahun 2006.
Saat dunia belum memiliki jejak digital karena teknologi telekomunikasi belum secanggih seperti hari ini.
Fakta demi fakta disusun, keterangan demi keterangan dikumpulkan.
Saksi demi saksi diperiksa.
Kesemuanya dilakukan untuk mendapatkan kausalitas, guna mengkonstruksi terjadinya peristiwa sehingga menemukan fakta hukum serta pelaku pembunuhan bersama motif dan modus sesungguhnya.
Andry Wibowo mengatakan dibutuhkan waktu 10 hari bagi tim penyidik Reskrim dari Polres Jakarta Utara kala itu untuk mengungkap pelaku kasus pembunuhan ini.
Dan ternyata petunjuk utamanya berasal dari sebuah puntung rokok yang ditemukan saat olah TKP.
Tak disangka, sebuah puntung rokok kretek Dji Sam Soe mampu membuka tabir pelaku pembunuhan Naek Gomgom Hutagalung sang kekasih Lidya Pratiwi.
Kerja keras dan ketekunan para penyidik yang patut mendapat acungan jempol.
Penyidik menemukan petunjuk pelaku pembunuhan ini tatkala sedang memeriksa seorang saksi bernama Tony Yusuf, yang merupakan paman dari Lidya Pratiwi.
Setelah diperiksa berjam-jam, mulut sang paman terasa asam menjawab pertanyaan yang datang bertubi-tubi dari penyidik.
Pemeriksaan dihentikan, penyidik menawarkan beberapa merk rokok pada si paman.
Setelah menggeleng dengan beberapa rokok yang ditawarkan oleh penyidik, si paman menganggukkan kepalanya pada rokok kretek Dji Sam Soe, merk sangat terkenal yang terbungkus kertas berwarna kuning.
Setelah dibiarkan menikmati beberapa batang rokok kesukaannya di meja pemeriksaan, lalu penyidik sambil berkelakar menunjuk si paman sambil bertanya bapak pelakunya ya ?
Sontak saja si paman mengelak sibuk membela diri.
Penyidik lalu mengumpulkan puntung rokok yang berserak di asbak, dan meminta kepada rekannya untuk melanjutkan dengan pemeriksaan forensik air liur, guna dicocokan dengan puntung rokok yang sebelumnya ditemukan di TKP. Dan hasilnya presisi alias ditemukan kesesuaian.
Begitulah cara kerja penyidik reskrim kepolisian dalam mengungkap sebuah kejahatan.
Dimulai dari titik awal lokasi tempat kejadian perkara, mengumpulkan benda-benda yang ditemukan, lalu menghubungkan fakta-fakta yang ditemukan dengan keterangan para saksi.
Bukti awal yang diperoleh, dikembangkan dengan melakukan pemeriksaan terhadap seluruh saksi yang diduga berada di lokasi, melihat, mendengar atau terhubung dengan peristiwa yang sudah terjadi.
Baca juga: Sambil Nangis, Lidya Pratiwi Akhirnya Cerita Kehidupannya: Penuh Rasa Takut, Sempat Ingin Bunuh Diri
Metode kerja ini disebut sentrifugal, bergerak menjauh dari titik pusat terus melingkar meluas melawan arah jarum jam, yang umum disebut pengembangan kasus.
Dalam ilmu fisika apabila terdapat gaya sentrifugal yang arahnya menjauhi pusat, maka akan terdapat gaya total yang menyebabkan benda bergerak sepanjang garis lurus. Garis inilah yang dalam istilah umum kita kenal sebagai benang merah sebuah peristiwa.
Berdasarkan bukti-bukti awal yang ditemukan jelas diperlukan pendalaman yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut menggunakan alat bantu canggih semisal pemeriksaan forensik, otopsi, kalau di jaman ini hingga digital forensik dan lainnya.
Hal demikian agar fakta dan informasi dapat menjadi bukti hukum yang mampu dibuktikan di pengadilan.
Sehingga korban pembunuhan meskipun tak lagi mampu bersuara mendapatkan keadilannya. Pelaku dapat dijerat dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Dan polisi sebagai aparat penegak hukum terhindar mengorbankan pihak yang tidak bersalah. (*)