Kondisi Polusi Udara di Jakarta Sangat Kritis, Pengamat Nilai Kebijakan WFH Tak Cukup untuk Atasi
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, menilai kebijakan WFH yang diambil Pemprov DKI jakarta masih belum cukup mengatasi masalah polusi udar
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, memberikan pendapatnya tentang kebijakan Work From Home (WFH) yang diambil Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi polusi udara.
Trubus mengatakan kebijakan WFH masih jauh dari cukup untuk mengurangi polusi udara di Jakarta.
Pasalnya, menurut Trubus, polusi udara yang terjadi di Jakarta sudah sangat kritis.
Sehingga, Trubus menilai imbauan WFH hanya kebijakan jangka pendek yang tidak bisa menyelesaikan masalah polusi udara di Jakarta.
Karena itu, Trubus menilai Pemprov DKI masih belum bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah polusi udara di ibu kota.
"Menurut saya masih jauh dari cukup untuk mengurangi polusi yang selama ini sangat kritis di Jakarta."
Baca juga: PNS DKI Diimbau WFH per 21 Agustus 2023, Kurangi Polusi dan Kemacetan saat KTT ASEAN Digelar
"Karena apa, kebijakan itu sifatnya hanya jangka pendek dan ya seperti aspirin, obat sakit kepala."
"Seolah-olah itu beres lalu selesai. Jadi terlihat Pemprov DKI belum bersungguh-sungguh," kata Trubus dalam tayangan Program 'Sapa Indonesia Pagi' Kompas TV, Jumat (18/8/2023).
Lebih lanjut, Trubus pun menyinggung soal kebijakan yang ada pada Pergub Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi.
Menurut Trubus, kebijakan Uji Emisi dalam Pergub tersebut tidak dilaksanakan secara baik.
Baca juga: Selain Kendaraan, WALHI Sebut PLTU dan Kebiasaan Bakar Sampah Sumbang Polusi Udara di Jakarta
Sehingga, progres dari kebijakan Uji Emisi di Jakarta tidak berjalan signifikan.
Tak heran jika kini polusi udara di Jakarta kini semakin parah setiap harinya.
"Kedua saya melihat kebijakan yang selama ini ada itu misalnya Pergub Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi itu tidak pernah dilaksanakan."
"Jadi dalam hal ini yang berhasil satu dua tapi tidak signifikan. Jadi ini yang menyebabkan kemudian polusi ini tidak ada kejelasan (penyelesaiannya)," pungkas Trubus.
Baca juga: Polusi Udara Jakarta, Ketua DPRD DKI: Cucu Saya Kena ISPA, Semalam Masuk RS
Sektor Transportasi dan Industri Biang Kerok Polusi Udara Jakarta
Sektor transportasi berbahan bakar fosil dituding sebagai penyebab utama buruknya kualitas udara di DKI Jakarta belakangan ini.
Hal itu merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (KLHK) bahwa porsi emisi sektor transportas 44 persen, disusul sektor industri 31 persen.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menuturkan kualitas udara yang semakin memburuk ini selain dapat membahayakan kesehatan warga, juga tentunya berpotensi menghambat aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Menurut dia, secara kasat mata dapat dilihat kualitas udara Jakarta sangat dipengaruhi oleh bergeliatnya mobilitas masyarakat pascapandemi.
Baca juga: Legislator PKB Kiai Maman Dukung Pernyataan Jokowi Soal Polusi Budaya
“Kita ingat betul dimasa pandemi ketika masyarakat lebih banyak berada di rumah, langit Jakarta tampak begitu cerah dan bersih."
"Namun, kini setelah ekonomi Jakarta mulai bergeliat dan jalanan Jakarta mulai sesak dipadati kendaraan bermotor, udara Jakarta pun terasa pengap dikepung asap,” katanya, dikutip Tribunnews.com, Jumat (18/8/2023).
Selain itu pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) sektor transportasi di Jakarta tumbuh paling tinggi mencapai 18,1 persen pada kuartal II-2023.
“Sektor transportasi sebagai biang kerok polusi udara Jakarta tentu makin mengkhawatirkan mengingat tingginya pertumbuhan populasi kendaraan bermotor berbasis fosil di Jakarta,” kata Abra.
Dalam 5 tahun terakhir, papar dia, populasi mobil penumpang di Jakarta mengalami peningkatan hingga 15,5 persen menjadi 4,13 juta kendaraan.
Sementara populasi sepeda motor meningkat hngga 27,8 perse menjadi 19,22 juta kendaraan.
Baca juga: INDEF Dorong Transisi dari Kendaraan Berbahan Bakar Fosil ke Listrik untuk Atasi Polusi Jakarta
“Artinya, dengan rata-rata konsumsi BBM di Jakarta untuk motor sebesar 0,92 liter per hari dan mobil 3,9 liter per hari maka total konsumsi BBM di Jakarta bisa mencapai 17,8 juta liter per hari untuk seluruh populasi motor dan 16,2 juta liter per hari untuk seluruh populasi mobil,” urainya.
Dengan jumlah emisi karbon 1 liter BBM setara dengan 2,4 kg CO2e, Abra menyatakab estimasi total emisi yang dihasilkan dari total populasi sepeda motor dan mobil penumpang di Jakarta mencapai 81,17 juta kg CO2e.
“Dengan menyadari besarnya emisi karbon yang dihasilkan kendaraan berbasis fosil tersebut sudah mestinya menjadi momentum transformasi menuju ekosistem transportasi yang bersih,” tambahnya lagi.
Untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan kendaraan pribadi, Abra mendorong pemerintah agar fokus dalam menyediakan transportasi massal yang nyaman dan terjangkau.
“Bahkan untuk mendorong penggunaan transportasi publik yang lebih masif lagi, pemerintah patut mempertimbangkan realokasi sebagian anggaran subsidi BBM untuk tarif transportasi publik.”
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Reynas Abdila)