Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pagar Laut Misterius di Tangerang: Awal Terdeteksi  7 Km, Kini Sepanjang 30,16 Km, Siapa yang Punya?

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten menyatakan Pagar laut misterius sepanjang 30,16 Km di perairan Tangerang melanggar aturan

Editor: Erik S
zoom-in Pagar Laut Misterius di Tangerang: Awal Terdeteksi  7 Km, Kini Sepanjang 30,16 Km, Siapa yang Punya?
net/KKP
Pagar laut sepanjang 30,16 Kilometer yang belum diketahui pemiliknya membentang di 6 kecamatan perairan Kabupaten Tangerang, Banten. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten dipastikan tidak memiliki izin.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten menyatakan bahwa pemagaran ini melanggar aturan yang berlaku karena tidak memiliki izin resmi.

Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti, menegaskan bahwa laut seharusnya menjadi wilayah terbuka. Eli menyebut, pagar ini membentang di sepanjang 16 desa yang melibatkan enam kecamatan di Kabupaten Tangerang. Kawasan ini adalah tempat tinggal sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya.

Baca juga: Pagar Laut Misterius 30,16 Km di Perairan Tangerang: Pemilik Misterius, Warga Dibayar Rp 100 Ribu

Pemasangan pagar juga melanggar Perda Nomor 1 Tahun 2023 yang mengatur zona-zona perairan untuk berbagai kepentingan, termasuk perikanan tangkap, pariwisata, hingga rencana pembangunan waduk lepas pantai.

Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada rekomendasi atau izin dari camat atau desa terkait pemagaran laut yang berlangsung.

Warga dikabarkan menerima upah Rp100 ribu untuk memasang pagar-pagar bambu sejauh 30,16 kilometer tersebut. Pemasangan dilakukan saat malam hari.

Informasi pertama tentang pagar ini diterima DKP Banten pada 14 Agustus 2024. Saat itu, panjang pagar yang terpantau baru sekitar 7 kilometer.  Investigasi lebih lanjut dilakukan pada September 2024 dengan melibatkan tim gabungan dari DKP dan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).

Berita Rekomendasi

Eli menegaskan bahwa kegiatan ini tidak mendapat rekomendasi atau izin dari desa maupun camat setempat. "Kami sudah meminta penghentian aktivitas pemagaran karena tidak berizin," katanya.

Hingga kini, berbagai pihak terus bekerja sama untuk menangani permasalahan ini dan mengungkap siapa di balik pembangunan pagar misterius tersebut. Kepala Perwakilan Ombudsman Wilayah Banten, Fadli Afriadi mengaku belum mengetahui informasi siapa yang memasang.

"Siapa yang melakukan belum teridentifikasi. Mereka (warga) sampaikan masyarakat malam-malam disuruh pasang (pagar bambu) dikasih uang Rp100.000 per orang. Cuma itu yang memerintahkan siapa, kita belum sampai situ," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Wilayah Banten, Fadli Afriadi, Rabu(8/1/2025).

Pemasangan pagar yang membentang dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji telah berlangsung selama enam bulan dan dilakukan dengan beberapa lapisan. Temuan ini berdasarkan informasi dari masyarakat saat pimpinan Ombudsman RI melakukan kunjungan ke lokasi pada 5 Desember 2024.

Hasil penelusuran bersama nelayan, Fadli menjelaskan bahwa pagar tersebut memiliki pintu setiap 400 meter yang dapat diakses oleh perahu.  Namun, di dalam area tersebut, nelayan akan kembali menjumpai pagar lapisan berikutnya.

"Pagar tersebut berbentuk seperti labirin," ungkapnya. Fadli menegaskan bahwa keberadaan pagar tersebut telah mengganggu aktivitas masyarakat serta merugikan dan membahayakan para nelayan.

"Tidak sesuai dengan prinsip bahwa laut itu kan terbuka, tidak boleh tertutup. Padahal, DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan Banten) telah menyatakan bahwa tidak berizin," kata Fadli.

Bentuk labirin

Pagar tersebut dipasang berlapis-lapis. Temuan ini berdasarkan hasil pengecekan langsung oleh Ombudsman RI Banten pada 5 Desember 2024.

"Saya naik kapal keliling, jadi itu (pagar bambu) bukan satu lapis, tapi berlapis-lapis. Untuk apa? Kita belum bisa mengidentifikasi karena beragam informasinya," kata Fadli Afriadi.

Baca juga: Pagar Laut 30,16 Km di Tangerang Dikebut Malam Hari, Pekerja Tak Tahu Siapa yang Perintahkan

Lebih lanjut, Fadli menyebutkan bahwa pagar tersebut memiliki pintu setiap 400 meter yang dapat dimasuki oleh perahu, dan di dalamnya akan kembali ditemukan pagar lapisan berikutnya.

"Pagar tersebut berbentuk seperti labirin," tambahnya.

Puluhan warga terdampak

Anggota Komisi IV DPR Riyono Caping memperkirakan ada 21.950 orang nelayan dan keluarganya yang terdampak pagar laut tersebut.

Riyono mengaku telah meninjau langsung lokasi tersebut pada Rabu (8/1/2025).

"Menurut data DKP Provinsi Banten, ada 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya di kawasan tersebut. Jika dihitung dengan rata-rata jumlah anggota keluarga, maka sekitar 21.950 jiwa terkena dampak ekonomi akibat pemagaran laut ini," kata Riyono dalam keterangan yang diterima, Kamis (9/1/2025).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menegaskan, pagar tersebut tidak hanya mengganggu akses nelayan, melainkan juga memiliki dampak ekologis.

Ia menyebutkan, pemagaran itu juga berpotensi merusak habitat biota laut.

"Jika nantinya ada reklamasi tanpa izin yang sah, maka kerugian ekologis akan semakin besar,” kata Riyono.

Baca juga: Wakil Ketua Umum MUI Pertanyakan Proyek PIK 2, untuk Rakyat atau Oligarki? 

Ia juga menyoroti pentingnya izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) bagi pihak-pihak yang memanfaatkan ruang laut lebih dari 30 hari.

"Jika izinnya ada, kenapa tidak disampaikan secara transparan? Jika tidak ada, jelas ini pelanggaran serius yang harus diusut tuntas. Negara harus hadir untuk membela hak nelayan," tutur Riyono.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini dan tidak membiarkan nelayan berjuang sendirian.

"Nelayan kita tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri. Mereka adalah tulang punggung ekonomi pesisir, dan negara wajib memberikan perlindungan nyata bagi mereka," kata Riyono.

Beberapa waktu terakhir publik dihebohkan dengan pagar laut di wilayah pesisir Tangerang. Kondisi ini sudah berlangsung selama lima bulan terakhir tanpa ada solusi nyata, meski Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten telah melakukan inspeksi sejak 2024.

Harus dibongkar

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Ahmad Yohan meminta pemerintah harus tegas dan harus segera membongkar pagar laut misterius tersebut.

"Pemerintah harus tegas, bongkar pagar laut yang merugikan warga. Kasihan mereka tidak bisa melaut untuk mencari nafkah. Masyarakat jangan dirugikan dengan alasan pembangunan. Masyarakat lah yang memiliki negara, bukan satu-dua orang atau perusahaan," ujar Yohan.

Menurut Yohan negara tidak boleh kalah oleh satu-dua orang, atau perusahaan pengembang kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Tropical Coastland di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

Baca juga: Muncul Pagar Misterius 30 Km di Perairan Tangerang Diduga Terkait PIK 2, DPR Minta Segera Dibongkar!

"Kalau benar dugaan pagar laut ini dibangun oleh pihak pengembang PSN PIK 2, Agung Sedayu Group, saya tegaskan negara tidak boleh kalah oleh mereka," ujarnya.

Presidium MN KAHMI ini juga akan mendesak dilakukan evaluasi terhadap pembangunan PSN PIK 2 dalam rapat kerja dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Kami mendukung langkah Kementerian ATR/BPN mengkaji ulang PSN PIK 2. Kami juga apresiasi, kemarin Pimpinan DPR Pak Sufmi Dasco juga membuka peluang kaji ulang proyek tersebut," ucap Politikus PAN ini.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti mengatakan, saat dilaporkan warga, pihaknya sudah menerjunkan tim. Kala itu pagar masih sepanjang 7 km.

Tim DKP bersama Polisi Khusus Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kembali datang ke lokasi pada 4-5 September. Tim mengungkap tak ada izin dari camat ataupun kepala desa untuk pemagaran itu.

"Terakhir kami melakukan inspeksi gabungan bersama-sama dengan TNI Angkatan Laut Polairud, kemudian dari PSDKP, dari PUPR, dari SATPOL PP, kemudian dari Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang, kami bersama-sama melaksanakan investigasi di sana dan panjang lautnya sudah mencapai 13,12 km, terakhir malah sudah 30 km," ungkap Eli.

Menurut Eli, struktur pagar terbuat dari bambu atau cerucuk dengan ketinggian rata-rata 6 meter. Di atasnya, dipasang anyaman bambu, paranet dan diberi pemberat berupa karung berisi pasir.  

Yang mengejutkan, berdasarkan investigasi tidak ada satu pun rekomendasi atau izin dari pihak berwenang. Struktur ini membentang di enam kecamatan yang mencakup 16 desa, tepat di kawasan yang dihuni ribuan nelayan.

Baca juga: Perjalanan Kasus Korupsi Timah yang Menyeret Crazy Rich PIK, Peran Helena Lim hingga Vonis 5 Tahun

"Di sepanjang kawasan ini, 6 kecamatan dengan 16 desa ini, ada sekelompok nelayan, masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan. Ada 3.888 nelayan, kemudian ada 502 pembudi daya," jelas Eli.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Kusdiantoro mengindikasikan adanya upaya tidak benar dalam kasus ini.

"Pemagaran laut merupakan indikasi adanya upaya orang untuk mendapatkan hak atas tanah di laut secara tidak benar, yang akan menjadikan pemegang hak berkuasa penuh dalam memanfaatkan, menutup akses publik, privatisasi, merusak keanekaragaman hayati, dan perubahan fungsi ruang laut," tegasnya.

Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) melalui Rasman Manafii menekankan bahwa aktivitas ini melanggar aturan.

"Aktivitas di ruang laut yang aturannya itu harus ada KKPRL kalau di atas kegiatan 30 hari," katanya.

Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Suharyanto juga mengaku tidak tahu siapa yang membangun pagar tersebut. Demikian juga apakah pagar itu terkait reklamasi, ia tak bisa memastikan karena tak ada proposal izin ke pihaknya.

"Nah, kita tidak tahu. Itu (reklamasi) baru kita ketahui ketika ruang laut itu diajukan permohonan dan dalam permohonannya ada proposalnya. Ini kan tidak ada," ujar Suharyanto. (Tribunnews/Kompas.com)

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas