Mahyudin: Masyarakat Adil Makmur Belum Terwujud
Saat ini adalah tahap mengisi kemerdekaan. Tapi, selama 73 tahun Indonesia merdeka, masyarakat adil dan makmur belum tercipta
Editor: Content Writer
Salah satu cita-cita dan tujuan Indonesia merdeka adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Alih-alih mewujudkan masyarakat adil dan makmur, Wakil Ketua MPR Mahyudin mengungkapkan masyarakat justru disibukkan dengan urusan politik saja.
"Saat ini adalah tahap mengisi kemerdekaan. Tapi, selama 73 tahun Indonesia merdeka, masyarakat adil dan makmur belum tercipta. Inilah yang harus kita perjuangkan," kata Mahyudin dalam pengantar Sosialisasi Empat Pilar MPR kepada wanita yang tergabung dalam Himpunan Wanita Karya (HWK) Samarinda, di Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (4/12/2018).
Menurut Mahyudin, mimpi Indonesia merdeka adalah ingin mengantarkan rakyat ke pintu gerbang kemerdekaan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
"Kita sudah berdaulat karena sudah merdeka dari penjajah. Kita sudah bersatu. Tapi adil dan mamkur belum tercipta sampai hari ini. (Masyarakat) adil dan mamur inilah yang kita perjuangkan," ujarnya.
Mahyudin mengungkapkan masih banyak rakyat Indonesia yang belum menikmati aliran listrik, belum mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai. Masih banyak rakyat yang hidup miskin dan tidak mempunyai pekerjaan.
"Tapi hari-hari ini kita disibukkan dengan urusan politik saja. Sehingga mengesampingkan urusan mensejahterakan rakyat, penciptaan lapangan kerja, memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik," imbuhnya.
Mahyudin mengakui banyak kendala untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur itu. Apalagi setelah reformasi ketika keran kebebasan dibuka. "Demokrasi seakan-akan menjadi tujuan. Padahal, demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan," tuturnya.
Akibatnya, lanjut Mahyudin, terjadi hiruk pikuk di atmosfir politik. "Apalagi memasuki tahun 2019, orang yang tidak terlibat dalam Pilpres pun ikut ribut di lapangan," ucapnya.
"Kita terlalu mudah diadu-domba dan dipolitisasi. Karena itu, saya berpikir setelah 20 tahun reformasi, pemilihan langsung harus dievaluasi kembali. Ketika rakyat tidak siap menimbulkan potensi konflik horisontal, ini harus dievaluasi kembali," tutupnya. (*)